Menakar Ulang Standar Keamanan Sekolah Berasrama

Bulan pendidikan nasional tahun ini terusik dengan adanya kasus kekerasan seksual yang menimpa sebuah sekolah elit di Jakarta. Terbongkarnya kasus ini menarik perhatian berbagai kalangan, bahkan hingga dunia international. Padahal ini bukanlah kasus kekerasan seksual pertama yang terjadi di lingkungan sekolah. Namun masyarakat secara lebih sederhana akan berpikir jika di sekolah yang dikelola dengan standar internasional saja bisa terjadi kasus mengerikan, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang dikelola dengan manajemen ala kadarnya. Tak lama berselang bahkan hingga kini, media massa kembali dihiasi dengan pemberitaan kasus kekerasan siswa di sekolah dasar sampai perguruan tinggi kedinasan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Sejatinya sekolah adalah rumah belajar kedua setelah lingkungan keluarga. Di dalamnya terdapat para guru dan tenaga kependidikan yang berperan sebagai arsitek pembangun jiwa para siswa. Dengan demikian, sekolah memiliki fungsi sebagai sebuah keluarga di mana para guru melindungi, memberikan rasa nyaman dan mengembangkan kompetensi baik akademik maupun kompetensi kepribadian para siswa. Proses pendidikan di sebuah sekolah dapat kita ibaratkan sebagai sebuah proses be rcocok tanam yang melibatkan bibit padi, petani, lahan dan proses bertanamnya. Sekolah adalah lahan yang harus dipersiapkan dan diolah terlebih dahulu sehingga menjadi lahan yang subur untuk menyemai berbagai benih kebaikan dan ilmu.

Di sisi lain perlu disadari, sekolah sebagai sebuah komunitas bukanlah tempat yang terbebas dari bahaya. Risiko keamanan yang pernah terjadi di sekolah adalah kecelakaan seperti jatuh dari teras gedung; bencana alam seperti gempa; kasus kekerasan fisik seperti perkelahian, tawuran hingga penembakan; tekanan jiwa yang dapat mengakibatkan depresi hingga bunuh diri; penyimpangan seksual dari perzinahan hingga kekerasan seksual seperti pelecehan, pencabulan bahkan pemerkosaan; intimidasi baik dari sesama siswa atau tenaga pendidik; dan sebagainya. Kasus-kasus serupa dapat terjadi di sekolah manapun, baik negeri maupun swasta bahkan yang berlabel agama sekalipun.

Sekolah berasrama yang kini banyak diminati masyarakat sebenarnya memiliki risiko yang lebih luas cakupannya karena mengambil alih tugas pengawasan siswa dari orang tua. Sementara itu, landasan para penyelenggara pendidikan atau orang tua siswa memilih sistem sekolah berasrama karena dianggap mampu memberikan lingkungan yang lebih kondusif dibandingkan dengan sekolah reguler dan pergaulan di luar sekolah. Lingkungan kondusif sebagai indikator dari keamanan sekolah dapat terbentuk jika penghuni asrama memiliki karakter yang positif. Tanpa adanya proses pembentukan karakter yang kuat, tak ada alasan mendasar untuk memasukkan anak di sekolah berasrama. Inilah pilar pendidikan yang harus mendapat perhatian utama.
Melihat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan besarnya tanggung jawab sekolah di atas, keamanan seharusnya menjadi standar yang wajib dipenuhi.

Dalam mendukung standar keamanan sekolah berasrama, faktor pertama yang harus dipersiapkan adalah tenaga pendidik. Marzano dalam bukunya Classroom Management That Works (2003) mengatakan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika mereka ditangani guru yang efektif, meskipun mutu sekolahnya biasa. Dalam lingkup asrama, baik-buruk perilaku siswa berada di tangan pengasuh. Jika pengasuh memiliki kualitas yang baik, tentunya akan menghasilkan siswa yang baik pula. Sebaliknya, meskipun sekolah baik, perilaku siswa tidak akan terkontrol jika pengasuh tidak memiliki kompetensi yang diperlukan. Artinya, peran pengasuh dalam menciptakan perilaku siswa yang baik betul-betul sangat menentukan.



Selama ini banyak sekolah yang mencukupkan diri pada latar belakang ilmu agama dalam perekrutan pengasuh asrama. Penguasaan ilmu agama merupakan pondasi yang penting, namun belum cukup. Perlu diimbangi adanya kualitas kepribadian, kecakapan sosial serta memahami dasar-dasar psikologi perkembangan anak. Kualifikasi akademik pengasuh asrama memang belum diatur oleh pemerintah bahkan disiplin ilmunya di perguruan tinggi pun belum ada. Namun demikian setidaknya sekolah yang memiliki asrama tetap melakukan perekrutan tenaga keasramaan dengan memperhatikan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional serta sosial. Dengan demikian pengasuh asrama dapat menjalankan perannya dengan baik.

Selain faktor tenaga pendidik, sarana-prasarana dalam sebuah asrama menjadi pendukung dalam menjaga pola interaksi antarsiswa maupun dengan lingkungan. Ada beberapa aspek sarana yang berkaitan langsung dengan pola interaksi antarsiswa yang harus mendapat perhatian seperti luas kamar yang ideal, jumlah siswa setiap kamar yang sehat, toilet yang aman, dan sebagainya. Tanpa memperhatikan hal tersebut, ada banyak potensi penyimpangan yang terjadi seperti : pencurian, pergaulan yang tidak terkontrol, pemerasan hingga penyimpangan seksual. Sementara itu sebagaimana rumah, asrama juga harus memberikan keamanan para siswa dari potensi gangguan pihak luar atau siswa berada di luar lingkungan asrama di mana pengasuh tidak dapat melakukan pengawasan.

Sistem pengelolaan asrama menjadi kunci dalam memastikan pemantauan siswa. Tanpa adanya pengolaan yang baik, asrama sekolah hanya akan seperti rumah kost yang penghuninya bebas melakukan aktivitas, bahkan lebih buruk. Di asrama sekolah, para siswa merupakan sebuah komunitas remaja yang sebaya. Salah satu ciri remaja yakni terikat dengan kelompok. Dalam aktifitas berkelompok ini tak jarang orang tua atau pengasuh dinomorduakan di bawah kelompoknya. Dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum remaja itu lebih mengikuti kekuatan id (dorongan agresif) ketimbang superego (hati nurani). Keberadaan ego (keakuan) remaja belum dapat memediasi agresivitas menjadi aktivitas sosial yang dapat diterima dengan baik dalam kehidupan sosial.

Implementasi standar keamanan sekolah tentunya memerlukan peran dari berbagai pihak. Pemerintah harus mengambil peranan sebagai pembuat regulasi dengan menguatkan standar keamanan yang secara tersirat ada dalam standar nasional pendidikan. Sementara ini standar keamanan belum secara spesifik menjadi sebuah panduan ataupun persyaratan, sebagai contoh sistem yang menjamin terkontrolnya aktivitas siswa. Bahkan untuk sekolah berasrama belum ada regulasi standar keamanan, setidaknya dari aspek sarana-prasarana, aktivitas siswa serta tenaga pendidik di lingkungan asrama. Setelah adanya regulasi standar keamanan, selanjutnya pemerintah menjalankan fungsi pengawasan serta evaluasi bagi sekolah berasrama.

Selain dari peran pemerintah, keterlibatan orang tua sangat diperlukan dengan cara aktif memantau perkembangan anak. Sayangnya, selama ini banyak orangtua memiliki pandangan bahwa dengan menitipkan seorang anak di sekolah berasrama, tugas mendidik sepenuhnya ada di tangan sekolah. Anggapan ini didasari bahwa interaksi terbanyak adalah di sekolah. Selain itu sekolah berlabelkan agama dipercaya memiliki program pendidikan yang dapat menj amin terkontrolnya perilaku seluruh siswa. Orang tua harus menyadari bahwa lembaga pendidikan hanya institusi menjalankan proses pendidikan. Tugas orangtua adalah mengawal apa yang telah diperoleh di sekolah. Itulah sinergi terbaik antara sekolah dan orangtua.

Bagikan artikel melalui :

, ,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar