Mereka Mengatakan Aku Transgender, Maka Jadilah Aku Transgender

Maghrib hari ini (13/6) sepulang dari kampus saya mencari hiburan di televisi untuk melepas lelah. Steelah berganti-ganti channel, saya terhenti pada tayangan hipnotis-komedi yang dipandu oleh Uya Kuya di sebuah televisi swasta. Saya sendiri cukup tertarik dengan hipnotis, karena dalam psikologi  hipnotis adalah sebuah cara yang ilmiah (tanpa ada campur tangan magic) dalam memberikan terapi yang kita kenal dengan nama hipnoterapi.
Tayangan Uya Kuya kali ini menampilkan dua orang yang sudah sepakat untuk bertemu setelah sebelumnya berkenalan lewat internet. Orang pertama adalah seorang ibu yang sudah berumur dan seorang lagi adalah seorang pemuda, dan keduanya menyetujui untuk dihipnotis.
Pertama kali, Uya menghipnotis seorang ibu. Dari hipnotis ini diketahui bahwa ibu tersebut ternyata adalah seorang laki-laki secara biologis namun secara psikis ia adalah seorang wanita. Ia mengaku bahwa dia menjadi seorang ‘wanita’ sejak menyelesaikan kuliah di fakultas hukum. Namun perasaan bahwa ia berperilaku  mirip seorang wanita ada sejak masih kecil, dan lingkungan tempat ia tinggal telah memberikan cap sebagai banci. Dicap sebagai seorang transgender membuatnya tidak percaya diri menjadi seorang laki-laki sebenarnya dan justru ia semakin lama menikmati sebagai seorang wanita karena ia merasa sulit untuk melepaskan diri dari kondisi tersebut. ‘Ibu’ tersebut bekerja sebagai marketing dalam sebuah perusahaan properti, di samping dulunya ia kadang memiliki ‘profesi sampingan’ sebagaimana banci-banci pada umumnya. Satu hal yang membuat saya terkejut adalah bahwa ia tetap mendirikan shalat, meski menggunakan mukena. Saya juga menjadi tahu bahwa ada ustadz yang membina para transgender ini agar kembali ke fitrahnya untuk menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya. Si ‘ibu’ ini sendiri sebetulnya sangat mengerti dengan yang dinasehatkan oleh ustadznya, namun sulit baginya untuk berubah, hanya shalat tetap ia jalankan dan bekerja secara profesional.
Giliran orang kedua, seorang pemuda, yang dihipnotis oleh Uya. Ternyata pemuda ini memiliki kelainan juga, ia adalah seorang transgender yang berprofesi sebagai penyanyi. Pemuda ini menjadi transgender karena memiliki orang tua yang tidak rukun (broken home) sehingga salah pergaulan. Namun ia mengungkapkan bahwa ia ingin kembali menjadi laki-laki yang sebenarnya. Di akhir hipnotis ia sempat berdoa cukup panjang dalam bahasa arab yang cukup lancar yang intinya ia memohon ampun atas segala dosa yang ia lakukan. Ketika ia berdoa tersebut, terekam dalam kamera ada transgender lain yang sedang berkerumun menyaksikan proses hipnotis tersebut ikut menangis.
Ketika dalam kondisi sadar, artinya sudah tidak dihipnotis, pemuda tadi ditanya kembali tentang keinginannya untuk menjadi manusia normal, dan ia pun menjawab “ya!” tentang tekadnya. Uya pun minta pendapat dari ‘ibu’ tentang keinginan pemuda tersebut. ‘Ibu’ pun menyatakan mendukung penuh sebelum terjebak terlalu dalam seperti dirinya. Ia juga mengungkapkan, hanya manusia gila yang tidak ingin normal, namun kadang harus terbentur oleh sulitnya penerimaan masyarakat, seperti dirinya. ‘Ibu’ tersebut juga mengungkapkan bahwa menjadi transgender itu tidak enak dalam segala hal. 
Banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari tayangan ini, diantaranya :
  1. Disadari atau tidak, sikap kita terhadap kekurangan atau kesalahan seseorang justru berakibat menjatuhkan yang bersangkutan lebih dalam lagi dalam kesalahan.
Hal ini berlaku juga dalam dunia parenting atau pendidikan. Jika anak atau siswa melakukan kesalahan, kadang kita justru bersikap jijik, benci atau memandang bahwa anak tersebut sangat buruk dan mencemarkan nama baik. Namun sikap seperti inilah yang justru tidak menolong anak untuk bangkit. Yang seharusnya kita lakukan adalah memberikan kepercayaan ia untuk bangkit. Kita juga harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan -- termasuk juga kita --, bahkan sahabat Nabi Muhammad pun, namun yang beliau lakukan adalah mendorongnya untuk bangkit.  Tidak ada juga manusia yang ingin dan bangga menyandang kekurangan seperti memiliki sifat transgender.
Perilaku transgender disebabkan oleh beberapa faktor : genetika, pergaulan, pola asuh dan trauma pelecehan seksual. Dari penyikapan yang salah terhadap transgender, membuat penderita tidak percaya diri untuk bergaul dengan laki-laki normal, sehingga ia lebih nyaman bergaul dengan perempuan, dan fatal akibatnya, jadilah ia menjadi transgender.  Dan ini berlaku juga untuk bentuk-bentuk perilaku menyimpang lainnya.
  1. Berhati-hatilah memberikan cap atau julukan kepada anak. Seperti yang telah saya tuliskan dalam artikel Mereka Menuduhku Mencuri, Maka Jadilah Aku Pencuri. Jangan sampai kita memberikan stempel si A sulit diatur, si B menjijikkan, si C bandel dan sebagainya. Jika yang bersangkutan terus menerus mendengar julukan tersebut, ia akan tersugesti terhadap dirinya dengan mengatakan, “Aku adalah anak nakal, tidak berguna dan membuat onar.” Maka ia pun akan menjadi apa yang tersugesti dalam pribadinya.
  2. Ada di antara kita yang telah bersabar mendampingi mereka yang memiliki perilaku menyimpang. Si ‘ibu’ tadi memiliki ustadz, sementara pemuda yang satunya ikut pengajian bersama pemuda transgender lainnya. Sebetulnya inilah yang dibutuhkan, kepercayaan., bahwa mereka adalah orang-orang yang berguna jika mereka menempatkan diri secara tepat, sebagai orang normal. Sekali lagi, sikap masyarakat yang menjauhi penderita penyimpangan membuat penderita mencari pergaulan yang salah, dan membuatnya semakin terpuruk.
Kesabaran sangat diperlukan dalam menangani orang-orang yang menderita kelainan, seperti para dai yang berkecimpung di dunia hitam. Bagaimana dengan kita yang berada di lingkungan yang lebih kondusif dalam mendidik? Sudah sabarkah kita menghadapi tingkah polah anak yang demikian unik dan lucu?

Bagikan artikel melalui :

,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar