PEDOFILIA BUKAN AKAR MASALAH

Pembahasan pedofilia terus bergulir sejak terbongkarnya kasus pada sebuah sekolah di Jakarta. Seperti sebuah sumbatan yang baru terbuka, berbagai kasus pedofilia pun mulai terungkap dengan jumlah korban maupun modus yang fantastis. Pelaku bukanlah orang asing, kejahatan pun dilakukan di tempat yang diyakini aman bagi anak : sekolah, rumah atau tempat bermain. Sepertinya keluarga Indonesia baru saja dibukakan mata tentang bahaya penyimpangan seksual ini.

Menyikapi terungkapnya berbagai kasus pedofilia, banyak kalangan memberikan pandangan untuk menemukan solusi. Salah satunya dalam aspek hukum. Beberapa pihak memandang perlunya merevisi undang-undang yang dinilai belum adil memberikan hukuman bagi pelaku pedofilia. Sementara itu para aktivis mengajukan petisi hukuman mati. Wacana yang sedang hangat dibicarakan adalah hukuman kebiri bagi pelaku seperti yang telah diterapkan di berbagai negara. Berbagai pendapat tersebut pada intinya bertujuan memberikan efek jera.

Pedofilia adalah kecenderungan ketertarikan seksual pada anak-anak biasanya yang berusia praremaja atau remaja awal, baik laki-laki maupun perempuan atau keduanya. Artinya pelaku pedofilia (yang disebut sebagai pedofil) dapat juga sebagai pelaku homoseksual meskipun ada juga pedofil yang tertarik pada lawan jenis. Selain itu, tidak berarti pedofil hanya tertarik kepada anak-anak. Bisa jadi seorang pedofil berkeluarga dan memiliki keturunan. Dengan demikian pengidap pedofilia menjadi tidak mudah untuk diketahui sampai terungkapnya suatu kasus.

Kejahatan pedofilia yang terkenal adalah kasus Marc Dutrox pada tahun 1980-an di Belgia. Selain pedofil, ia juga pembunuh dan pemimpin industri pornografi anak. Ia juga mempunyai istri dan tiga anak. Namun ketertarikannya pada anak perempuan sangat kuat, karena itu dalam bisnisnya ia memilih anak perempuan untuk dijual atau menjadi obyek pornografi. Di Indonesia, masyarakat mengenal nama Robot Gedek, Baekuni hingga Emon sebagai pelaku pedofilia.

Seperti sebuah mata rantai, pedofilia akan terus berlanjut selama akar masalah belum ditangani. Pedofilia adalah perilaku yang berulang, artinya pedofil umumnya mengalami perlakuan yang sama di masa kecil. Namun seorang pedofil bisa jadi merupakan pelaku baru yang meniru perilaku pedofilia orang lain. Pedofilia juga dapat terjadi karena mengkonsumsi pornografi. Pelaku tidak dapat menyalurkan dorongan seksual kecuali kepada anak-anak yang mudah untuk dibujuk. Jika berhasil, penyimpangan tersebut akan dilakukan berulang kali.

Menilik paparan Dr. Donald L. Hilton Jr., psikoterapis dan ahli neurosurgical dari University of Texas bahwa pecandu pornografi mengalami kerusakan otak pada bagian yang membuat perencanaan, pengendali emosi dan pengambil keputusan. Artinya, pornografi menyebabkan ketidakmatangan perkembangan sosial dan seksual pecandu. Akibatnya adalah pedofilia atau perilaku seksual menyimpang lainnya. Sebagaimana telah terungkap bahwa seorang pedofil, biasanya memiliki kaitan dengan kebiasaan mengoleksi atau memproduksi pornografi.

Sementara itu industri pornografi telah menggurita bahkan melibatkan jaringan antar-negara. Agar tetap berjalan, bisnis pornografi membentuk lingkaran setan : pornografi menyebabkan penyimpangan seksual, penyimpangan tersebut dapat digunakan sebagai obyek pornografi. Hasilnya didistribusikan bagi pecandu lain atau menyasar konsumen baru. Selanjutnya akibat mengkonsumsi pornografi, akan timbul kasus kejahatan seksual : pemerkosaan, pencabulan, hubungan seks remaja, pemerkosaan binatang hingga pedofilia. Yang lebih memprihatinkan adalah kejahatan tersebut dilakukan oleh anak usia SD. Tentunya setelah melihat pornografi.

Perlu disadari bahwa pedofilia bukanlah satu-satunya kejahatan seksual. Dan berbagai kejahatan seksual ditimbulkan oleh pornografi. Sehingga penegakan hukum seharusnya tidak hanya berhenti pada pelaku kejahatan seksual. Pemicunya, dalam hal ini adalah pihak yang terlibat dalam produksi dan distribusi materi pornografi juga harus ditelusuri dan dikenai sanksi. Selama ini mereka dapat dijerat dengan UU ITE atau UU Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Jika pelaku pedofilia dan kejahatan seksual lainnya diusulkan untuk dikebiri bahkan dihukum mati, maka pemicu kejahatan selayaknya mendapat hukuman yang lebih berat atau setidaknya sama.



Selain dari sisi hukum, pencegahan akses terhadap pornografi juga harus dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga. Pemerintah harus lebih aktif dalam menghentikan penyebaran pornografi dengan penegakan hukum yang tuntas maupun penyaringan konten. Baik pornografi yang bersifat eksplisit di mana banyak tersebar di internet maupun implisit yang mudah ditemui di media massa, seperti : sinetron, iklan, lawak dan sebagainya. Masyarakat juga harus lebih peka ketika menjumpai adanya muatan pornografi di internet atau acara televisi. Salah satunya dengan melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).

Keluarga adalah lingkungan utama bagi tumbuh kembang anak. Orang tua hendaknya lebih intens menanamkan pendidikan akhlak, tidak mencukupkan hanya pelajaran di sekolah. Komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak akan memudahkan dalam membimbing dan mengawasi pergaulan anak. Memastikan gadget digunakan secara benar adalah kewajiban orang tua dengan mengecek, tidak cukup sebatas menanyakan atau nasihat. Perlu diketahui bahwa Indonesia selalu berada di peringkat atas sebagai pengakses situs pornografi.

Negara dan bangsa Indonesia sudah saatnya menyatakan perang terhadap pornografi sebagai pangkal kejahatan seksual. Selanjutnya dengan upaya preventif dan represif di atas, pembuatan dan penyebaran pornografi yang membidik generasi muda dapat ditekan. Tanpa pornografi, otak dan pikiran generasi muda Indonesia akan lebih sehat. Dengan demikian setiap keluarga Indonesia dapat melindungi diri dari kejahatan seksual, baik potensi sebagai korban maupun sebagai pelaku.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar