BELAJAR DARI KELUARGA IBRAHIM
Idul Adha mengenangkan kita pada sosok keluarga yang didamba setiap insan. Ibrahim, dialah sang kepala keluarga yang shalih. Masa mudanya dipenuhi keingantahuan terhadap banyak hal, termasuk soal ketuhanan. Berkat penelaahan mendalam atas peristiwa-peristiwa alam, penggunaan nalar, dan bimbingan-Nya, ia ‘menemukan’ Tuhannya.
Kisah pengorbanan Ibrahim dimulai sejak muda yang harus berhadapan dengan ayahnya sendiri, sang pembuat patung. Dengan dialog yang sederhana namun cerdas, Ibrahim mengajak ayah dan kaumnya untuk merenungi tentang sesembahan mereka. Ibrahim juga sempat disidang oleh raja tentang patung-patung yang terpenggal, jawabannya mengembalikan nalar keimanan manusia.
"Maka tanyakanlah kepada berhala yang paling besar, jika mereka dapat berbicara."
Sebuah keberanian yang dilandasi oleh keimanan dengan jiwa sebagai taruhan. Ibrahim pun dibakar.
Sementara itu, Hajar adalah seorang wanita yang teguh imannya dalam mendukung perjuangan sang suami. Dari suami dan istri yang shalih ini lahirlah pribadi Ismail. Suatu hari, berulang kali Hajar bertanya, mengapa Ibrahim meninggalkan dirinya dan Ismail di padang pasir tak bertuan? Ibrahim terus melangkah, tanpa menoleh, tanpa terlihat lelehan air mata. Padahal remuk redam perasaannya, terjepit antara cinta dan penghambaan. Hajar pun mengejar. Kali ini jeritannya menembus batas langit, "Apakah ini perintah Tuhanmu?" Ibrahim berhenti melangkah. Pertanyaan Hajar yang seperti gugatan itu membuat semua terkesiap. Dunia pun seolah berhenti berputar, menanti jawaban Ibrahim. Butir pasir diam terpaku. Angin tak lagi mendesah. Ibrahim berbalik dan berkata tegas, "Iya."
"Jika ini perintah dari Tuhanmu, pergilah. Allah akan menjaga kami di sini," ucap Hajar. Ibrahim pun beranjak pergi. Inilah romantisme keikhlasan, wujud keyakinan sempurna kepada Tuhannya. Karena ikhlas adalah sanggup melawan dan berlari, namun memilih patuh dan tunduk. Ikhlas adalah sebuah kekuatan menundukkan diri sendiri dan semua yang kita cintai. Ikhlas adalah memilih jalanNya, bukan karena terpojok tak punya jalan lain. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengalkulasi hasil akhir. Ikhlas tak pernah berhitung. Ikhlas tak pernah pula menepuk dada. Hendaknya kita memahami ikhlas dari diamnya Hajar dan perginya Ibrahim.
Ketika Ismail ditinggal Ibrahim, Hajar berperan menanamkan keimanan. Ia menghadirkan sosok ayah kepada Ismail lewat kisah teladan Ibrahim. Hingga tibalah waktu dipergilirkan pengorbanan itu kepada Ismail. Terjadilah dialog yang agung antara ayah dengan anak. Al Qur’an pun mengabadikannya dalam surat Al Shaffat ayat 102. Kita bisa membayangkan bagaimana hubungan Ibrahim dan Ismail. Ismail tanpa ragu bersedia dikorbankan, karena ia tahu betul bahwa sang ayah telah mengorbankan diri untuk ummat. Ia melihat Ibrahim sebagai seorang yang memang tak memiliki kepentingan terhadap diri sendiri.
#kultumparenting #keluargabahagiauntukindonesia #parentingibrahim#iduladha #keluargaibrahim
Twitter/IG : @ad_zadani
FB : Arifudin Zul Zadani
Kisah pengorbanan Ibrahim dimulai sejak muda yang harus berhadapan dengan ayahnya sendiri, sang pembuat patung. Dengan dialog yang sederhana namun cerdas, Ibrahim mengajak ayah dan kaumnya untuk merenungi tentang sesembahan mereka. Ibrahim juga sempat disidang oleh raja tentang patung-patung yang terpenggal, jawabannya mengembalikan nalar keimanan manusia.
"Maka tanyakanlah kepada berhala yang paling besar, jika mereka dapat berbicara."
Sebuah keberanian yang dilandasi oleh keimanan dengan jiwa sebagai taruhan. Ibrahim pun dibakar.
Sementara itu, Hajar adalah seorang wanita yang teguh imannya dalam mendukung perjuangan sang suami. Dari suami dan istri yang shalih ini lahirlah pribadi Ismail. Suatu hari, berulang kali Hajar bertanya, mengapa Ibrahim meninggalkan dirinya dan Ismail di padang pasir tak bertuan? Ibrahim terus melangkah, tanpa menoleh, tanpa terlihat lelehan air mata. Padahal remuk redam perasaannya, terjepit antara cinta dan penghambaan. Hajar pun mengejar. Kali ini jeritannya menembus batas langit, "Apakah ini perintah Tuhanmu?" Ibrahim berhenti melangkah. Pertanyaan Hajar yang seperti gugatan itu membuat semua terkesiap. Dunia pun seolah berhenti berputar, menanti jawaban Ibrahim. Butir pasir diam terpaku. Angin tak lagi mendesah. Ibrahim berbalik dan berkata tegas, "Iya."
"Jika ini perintah dari Tuhanmu, pergilah. Allah akan menjaga kami di sini," ucap Hajar. Ibrahim pun beranjak pergi. Inilah romantisme keikhlasan, wujud keyakinan sempurna kepada Tuhannya. Karena ikhlas adalah sanggup melawan dan berlari, namun memilih patuh dan tunduk. Ikhlas adalah sebuah kekuatan menundukkan diri sendiri dan semua yang kita cintai. Ikhlas adalah memilih jalanNya, bukan karena terpojok tak punya jalan lain. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengalkulasi hasil akhir. Ikhlas tak pernah berhitung. Ikhlas tak pernah pula menepuk dada. Hendaknya kita memahami ikhlas dari diamnya Hajar dan perginya Ibrahim.
Ketika Ismail ditinggal Ibrahim, Hajar berperan menanamkan keimanan. Ia menghadirkan sosok ayah kepada Ismail lewat kisah teladan Ibrahim. Hingga tibalah waktu dipergilirkan pengorbanan itu kepada Ismail. Terjadilah dialog yang agung antara ayah dengan anak. Al Qur’an pun mengabadikannya dalam surat Al Shaffat ayat 102. Kita bisa membayangkan bagaimana hubungan Ibrahim dan Ismail. Ismail tanpa ragu bersedia dikorbankan, karena ia tahu betul bahwa sang ayah telah mengorbankan diri untuk ummat. Ia melihat Ibrahim sebagai seorang yang memang tak memiliki kepentingan terhadap diri sendiri.
#kultumparenting #keluargabahagiauntukindonesia #parentingibrahim#iduladha #keluargaibrahim
Twitter/IG : @ad_zadani
FB : Arifudin Zul Zadani
Idul Adha mengenangkan kita pada sosok keluarga yang didamba setiap insan. Ibrahim, dialah sang kepala keluarga yang shalih. Masa mudanya ...