JANGAN!! KELOLA SEKOLAH ALA OJEK ONLINE

Ojek online telah akrab di telinga masyarakat. Pada awal kemunculannya, digemborkan bahwa perusahaan transportasi (tepatnya perusahaan IT) ini mampu mengangkat pengemudi yang disebut sebagai “mitra”, baik dari segi 'nama' maupun finansial.

Seperti sudah diketahui, perusahaan mengatur jumlah minimum penerimaan pesanan. Mereka menentukan target pencapaian penghasilan yang mendorong pengemudi untuk bekerja lebih lama dan lebih keras. Pengemudi juga harus menghitung poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapatkan upah yang cukup.

Adanya sistem rating (peringkat) dapat membuat kesan seolah-olah adanya strata antara penumpang-perusahaan-pengemudi. Perusahaan berada di puncak kekuasaaan. Sementara itu, penumpang memiliki kuasa layaknya manajer karena rating mereka menentukan bonus yang diterima pengemudi.
Barangkali, rating yang diwakili dengan simbol bintang dibuat untuk menjaga kualitas pelayanan. Masalahnya penumpang tidak memahami standar rating sehingga dapat merugikan pengemudi. Sementara bagi pengemudi, bintang empat sudah menjatuhkan rata-rata rating mereka. Jika ada perselisihan, perusahaan hampir pasti membela penumpang.

Sudah banyak kabar bertebaran yang menceritakan nasib para driver yang apes gara-gara rating, komentar bahkan komplain dari penumpang. Ada yang dibekukan rekeningnya, bonusnya hilang sampai diputus kemitraannya.


***

Pola interaksi penumpang-perusahaan-pengemudi di atas akan lebih mengerikan lagi jika sudah memasuki dunia sekolah. Antara siswa (dan orang tua), sekolah serta stakeholder (dinas pendidikan atau Yayasan) seharusnya terjalin kehangatan hubungan sebagai keluarga pendidikan. Interaksi yang terbentuk selama masa pendidikan sekian tahun tidak dapat dilakukan ala transportasi online di atas.

Berdasarkan pengalaman, sekolah swasta memiliki potensi besar untuk terjebak pola tersebut. Siklus sepuluh tahunan sebuah lembaga pendidikan perlu diwaspadai. Yaitu sekolah tidak lagi merdeka untuk bergerak. Sekolah mulai menjadi sebuah lembaga yang menarik perhatian. Maka berdatanganlah pihak-pihak yang ingin terlibat lebih jauh dalam proses pendidikan.

Ada pula bayang-bayang 'penumpang' yang leluasa memberikan rating, dan menjadi penentu nasib 'pengemudi' dari kekuasaan 'perusahaan'. Jika itu terjadi di sebuah lembaga pendidikan, tinggal menunggu waktu untuk ... dan sudah banyak contohnya. Mau nambah satu angka lagi? Terserah pada 'penumpang', 'perusahaan' dan 'pengemudi', mau belajar dari kasus transportasi online nggak?

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar