MUKIDI BIKIN KEPALA SEKOLAH EMOSI

1. Telepon pertama
Mukidi : "Halo.. KFC?"
KFC : "Ya..? Ada yang bisa saya bantu?"
Mukidi : (Wahh.. cowok yang jawab!! pas banget nihh...) "Mas tolong bantuin saya ngecat rumah dong!!"
KFC: "Ini fast fooddd!! BUKAN TEMPAT JASA TUKANG !!!"
(tutt... tut... tut...)

2. Telepon kedua
Mukidi : "Halloo...KFC?"
KFC : "Iya, ada yg bisa dibantu?"
Mukidi : "Ayamnya ada apa enggak?"
KFC : "Oh ada."
Mukidi : "Coba bawa kesini, diadu sama ayam saya yook!"
KFC. : "Arghhh ..." (gigit kabel telepon)

3. Telepon ketiga
Mukidi : "Hallooo.. KFC ..."
KFC : "Kamu lagi !! Mau ngeledek lagi apa?" (hapal suara Mukidi)
Mukidi : "Woi ane mau pesen! Ya udah, ane gak jadi pesen kalo gitu !!"
KFC : "Oh iya! Mau pesen apa?" (langsung ramah lagi)
Mukidi : "Bubur kacang ijo seporsi."
KFC : ... (mimisan)




***

Episode Mukidi di atas adalah fiktif, namun tanpa disadari sebenarnya bisa ditemui dalam skenario yang sedikit berbeda. Salah satu setting tempatnya adalah sekolah. Saya sering mendapati rekan-rekan guru bahkan kepala sekolah yang mengeluhkan aktor mukidi-mukidi yang suloyo itu. Dan saya pun pernah secara langsung juga ketemu sosok jelmaan mukidi tersebut.
Kita tahu bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan yang telah memiliki program dalam menyelanggarakan layanan pendidikan. Dengan jumlah siswa yang jamak, pendidikan di sekolah dilaksanakan secara klasikal. Ada perhatian sekolah terhadap individu siswa, namun pada dasarnya proses belajar mengambil sifat keumuman siswa.
Di sinilah letak masalahnya. Kadangkala orang tua tidak puas dengan program yang dimiliki oleh sekolah, sehingga sedikit-banyak mengajukan permintaan yang cenderung bersifat khusus sesuai dengan kepentingan anaknya sendiri. Sebagai contoh adalah orang tua meminta sekolah menyelenggarakan program yang sedang booming. Kajadian ini terjadi beberapa tahun lalu ketika marak pelatihan otak tengah. 
Di sekolah berasrama lebih unik lagi. Banyak cerita orang tua yang seringkali menawar peraturan yang berlaku, seperti : frekuensi menjenguk anak, mengajak anak keluar area sekolah, menggeser waktu kegiatan karena bentrok dengan acara keluarga dan beragam usulan diiringi alasan yang (dipaksakan) masuk akal. 
Lalu, apakah orang tua tidak boleh memberi saran atau kritik terhadap sekolah? Boleh sekali, tentu sesuai dengan jalurnya, misal melalui komite sekolah. Secara individu, orang tua tidak boleh mengambil penafsiran terhadap peraturan kemudian membuat keputusan sendiri terhadap kegiatan anak di sekolah tanpa menghormati lembaga tersebut.
Sekolah telah memiliki kebijakan tersendiri, inilah yang sejak awal harus dipelajari dan disadari orang tua sebelum memilih sekolah tersebut sebagai tempat belajar sang anak. Tidak ada yang memaksa orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Ketika orang tua memilih suatu sekolah, berarti telah menyepakati kebijakan yang ditetapkan.

***
Menentukan jalur pendidikan untuk anak mirip dengan menentukan baju. Maksudnya adalah ada yang lebih suka menjahitkan kain menjadi sebuah baju, di lain pihak ada yang lebih suka membeli jadi. Atau ada pula yang membeli jadi kemudian ukurannya di-customize, cara ini yang lebih sering saya lakukan ketika membeli celana panjang.
Pabrik pakaian memproduksi baju dalam jumlah besar, dengan model yang secara umum laku di masyarakat serta ukuran yang terbatas : S, M, L dan XL. Kita tidak bisa menuntut lebih ke pabrik untuk menuruti selera kita. Kalau kita menginginkan baju dengan ukuran dan model yang paling cocok, maka pilihannya adalah membeli kain dan menjahit. Menjahit sendiri jika mampu atau minta tolong ke tukang jahit. Dengan cara seperti ini akan menjadikan anggaran lebih besar, atau justru lebih hemat.
Sekolah merupakan jalur pendidikan yang paling banyak. Ia menyelenggarakan pendidikan sebagaimana diatur oleh negara. Khusus sekolah swasta juga disesuaikan dengan kepentingan stakeholder dan aspirasi masyarakat. 
Ada bentuk sekolah komunitas yang memberikan layanan pendidikan sesuai dengan harapan dari sekumpulan orang tua. Mereka membuat kurikulum secara bersama-sama sesuai dengan minat dan bakat anak yang terbaca.
Jalur pendidikan lainnya adalah homeschooling. Dalam model pendidikan ini, setiap orang tua dapat mendidik anaknya sendiri sesuai dengan visi-misi keluarga yang telah dipahaminya. Kurikulum dibuat dengan cara sendiri, untuk sendiri dan dilaksanakan secara mandiri pula.

***
Apapun jenis jalur pendidikan yang dipilih, hal itu merupakan selera sesuai dengan kemampuan dan pemahaman orang tua. Setiap pilihan memiliki konsekuensi.
Hanya sekedar mengingatkan, agar episode Mukidi di KFC tidak terulang, memilih sekolah sebagai jalur pendidikan anak menjadikan orang tua tidak bisa bebas mengarahkan secara teknis proses pembelajaran.
Ingin lebih bebas? Pilih sekolah komunitas, orang tua bisa bersama-sama orang tua lain menentukan arah pendidikan hingga model pembelajaran untuk anak.
Ingin lebih bebas lagi? Homeschooling pilihannya. Silahkan orang tua mendesain secara penuh konsep pendidikan bagi anak.

Bagikan artikel melalui :

, ,

KOMENTAR

1 comments:

  1. Memilih jalur pendidikan yg pas / tepat utk sibuah hati tdk bisa dibilang mudah.

    Berbagai masukan / pertimbangan pun diadopsi hanya mamastikan pilihan jalur pendidikan hasil nego orang tua dan putra putrnya tidak keliru.

    Sehingga tanpa disadari kadang sebagian dari orang tua masih merasa perlu intervensi utk memastikan putra putrinya dalam track yg benar.

    BalasHapus