Tidak Santri Saja yang Bersabar, Orang Tua juga Harus Kuat

Belajar di pesantren tidak lepas dari semangat sebagai seorang perantauan. Santri berangkat ke pesantren meninggalkan teman-teman bermainnya, kampung halaman, rumah tinggal, keluarga dan tentu berpisah dengan orang tuanya. Untuk merantau, setiap santri perlu memiliki keyakinan dan mental yang kuat apalagi dalam usia usia yang masih sangat belia. Bahkan orang tua atau keluarga yang ditinggalkannya pun harus memiliki keyakinan yang besar untuk melepas santri demi masa depannya. 

Hijrah dan menjelajah adalah tahapan yang selalu dilalui oleh para nabi, sahabat dan para ‘ulama. Merantau menjadi metode belajar para ilmuan muslim masa silam. Ibnu Batutha dari Maroko sebagai contohnya. Seorang diri menempuh perjalanan sejauh 120 ribu kilometer, Ibnu Batutha berekspedisi ke Afrika, bagian selatan dan timur Eropa, Asia Tengah, Cina bagian selatan hingga mencapai Aceh. Ia menempuh cara ini untuk meneliti berbagai budaya, peradaban dan fenomena alam yang sampai saat ini kitabnya menjadi rujukan dalam ilmu antropolgi.

Merantaulah…
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan hidup di negeri orang

Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan 
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan
Jika bijih emas memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi pewangi yang tinggi nilainya

Tidak mudah dilalui oleh para santri yang harus berpisah selama enam tahun dari lingkungan yang sejak kecil menjadi teman dan tempat bermainnya. Sulitnya melalui masa perantauan tersebut juga dialami oleh orang tua yang kadang kala merasa tidak tega melepas sang anak. Syair Imam Syafii tersebut selalu menjadi materi yang selalu diberikan saat pembekalan santri baru maupun orang tua.

***

KH Hasan Abdullah Sahal (lahir di Gontor, 24 Mei 1947) adalah seorang Pimpinan Pondok Modern Darussalam  Gontor Ponorogo bersama 2 orang lainnya Dr KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MM dan KH. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag. Beliau adalah putera keenam dari KH. Ahmad Sahal, pendiri Pondok Modern Darussalama Gontor.

Pada suatu kesempatan Kiai Hasan Abdullah Sahal menyampaikan pesan yang sangat menyentuh kepada para orang yang hendak memondokkan anak-anaknya.
Kalo mau punya anak bermental kuat, orang tua-nya harus lebih kuat, punya anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi juga bermanfaat untuk umat, orang tua harus berjuang lebih..ikhlas.. ikhlas.. ikhlas..
Anak-anak mu di pondok pesantren gak akan mati karena kelaparan, gak akan bodoh karena gak ikut les ini dan itu, gak akan terbelakang karena gak pegang “gadget”.
Insya Allah Anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena sebagaimana janji Allah yang akan menjaga Alqur’an..yakin.. yakin..harus yakin..
Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu, karena menuntut ilmu agama dari pada kamu nanti “yen wes tuwo nangis karena anak-anak mu lalai urusan akhirat.. kakean mikir ndunyo, rebutan bondo, pamer rupo..lali surgo..” (kalo sudah tua menangis karena anak-anak kamu lalai terhadap urusan akhirat….kebanyakan memikirkan urusan dunia, berebut harta, pamer rupa wajah…lupa surga).


Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar