Belajar dari Kolong Kereta Api
"Sebentar lagi kereta akan berangkat, semuanya kembali ke kursi masing-masing dulu!" aku memastikan kelengkapan jumlah siswa.
Sudah lebih dari 30 menit kereta api Brantas berhenti di Stasiun Kertosono. Di stasiun ini jumlah penumpang tinggal sedikit karena sudah banyak yang turun di Madiun. Bahkan kami yang mengisi sebagian besar kursi, artinya anak-anak menguasai satu gerbong. Berangkat dari Jakarta pukul 16.30 dan tiba di Stasiun Kertosono pukul 07.00 pagi membuat rombongan cukup lelah, itu belum sampai Stasiun Kediri, satu jam lagi perkiraan. Namun aku lihat anak-anak masih ceria dan aktif, mungkin karena ini adalah pengalaman pertama naik kereta api atau bahkan bepergian jauh. Maklum, mereka anak-anak kampung atau anak orang kaya yang selalu berkendaraan pribadi jika bepergian.
"Rahman nggak ada Ustadz," lapor Fikar padaku.
"Hah?!" aku cukup kaget, "Tadi sama siapa?"
"Saya, Rahman, Alif dan Ahmad ke gerbong depan. Terus Rahman keluar."
Sekolah kami merupakan sekolah berasrama (pesantren) setingkat SMP-SMA yang memiliki program belajar bahasa Inggris sekaligus hidup bermasyarakat di Pare-Kediri Jawa Timur. Siswa kami merupakan anak-anak terpilih dari berbagai daerah dengan beasiswa penuh. Dari 25 siswa yang diterima setiap tahunnya, 20 siswa dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dan 5 siswa dari keluarga berada yang kelak akan memberikan subsidi pendidikan.
Membawa rombongan sebanyak 25 siswa kelas VIII cukup menantang. Namun dengan didampingi Mas Akso dan Pak Harun, tugas ini menjadi lebih ringan. Ini adalah tugasku yang ketiga kalinya setelah sebelumnya mengantar siswa kelas IX dan X. Sebelum berangkat, anak-anak sudah aku beri penjelasan rinci dan teknis, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang dibawa atau tidak atau prosedur-prosedur lainnya.
"Mas Akso cek gerbong depan, Pak Harun jaga anak-anak dan saya turun sebentar," aku membagi tugas dalam mencari Rahman.
Aku melompat dari gerbong berlari menuju ruang stasiun karena gerbong paling belakang, tempat kami berada, tidak mendapat lantai pijakan dan cukup jauh dari ruang tunggu stasiun. Satu per satu aku mengecek pedagang kemudian menuju mushola dan toilet. Nihil.
Lonceng stasiun tanda kereta akan diberangkatkan sudah berbunyi. Mulai panik, aku berlari kembali ke gerbong.
"Nggak ada Ust!" teriak Mas Akso berlari dari gerbong depan.
Saya melompat turun ke sisi gerbong yang lain. Tidak terlihat.
Aku naik ke gerbong lagi berharap Rahman sudah kembali. Nggak ada juga.
Bersandar di pintu bordes (sambungan gerbong) aku berpikir keras. Tiba-tiba ...
"Itu Rahman Ust!" teriak anak-anak menunjuk Rahman yang datang dari arah depan.
"Dari mana Rahman?" tanya anak-anak.
Rahman menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat dan bangga sementara perlahan kereta api mulai berjalan.
...
"Apa?!!" teriakku kaget.
Aku peluk Rahman di antara rasa marah dan lega yang berbaur. Aku duduk di sampingnya, mendengar ia menuturkan cerita. Setelah terlihat ia puas bercerita, aku mengajaknya duduk terpisah dari teman-temannya. Ada penghargaan yang layak ia dapatkan,namun ada pelajaran yang harus ia peroleh agar lebih berhati-hati lagi. Ia telah menyusuri bawah gerbong, sementara sekian detik setelah ia naik gerbong kereta pun berangkat. Ah, apa yang terjadi jika terlambat, jika ...
Rahman adalah anak yang cerdas, rasa ingin tahunya sangat tinggi. Jika mengobrol suatu tema dengannya tak akan habis karena terus bersambung. Rahman anak cerdas, di antara kami bahkan mungkin Anda, hanya Rahman yang tahu warna, bau dan bentuk bagian bawah gerbong kereta api.
(Juara III Sayembara Cerpen "Pengalaman Terindah sebagai Guru", Juli 2013)
Sudah lebih dari 30 menit kereta api Brantas berhenti di Stasiun Kertosono. Di stasiun ini jumlah penumpang tinggal sedikit karena sudah banyak yang turun di Madiun. Bahkan kami yang mengisi sebagian besar kursi, artinya anak-anak menguasai satu gerbong. Berangkat dari Jakarta pukul 16.30 dan tiba di Stasiun Kertosono pukul 07.00 pagi membuat rombongan cukup lelah, itu belum sampai Stasiun Kediri, satu jam lagi perkiraan. Namun aku lihat anak-anak masih ceria dan aktif, mungkin karena ini adalah pengalaman pertama naik kereta api atau bahkan bepergian jauh. Maklum, mereka anak-anak kampung atau anak orang kaya yang selalu berkendaraan pribadi jika bepergian.
"Rahman nggak ada Ustadz," lapor Fikar padaku.
"Hah?!" aku cukup kaget, "Tadi sama siapa?"
"Saya, Rahman, Alif dan Ahmad ke gerbong depan. Terus Rahman keluar."
***
Sekolah kami merupakan sekolah berasrama (pesantren) setingkat SMP-SMA yang memiliki program belajar bahasa Inggris sekaligus hidup bermasyarakat di Pare-Kediri Jawa Timur. Siswa kami merupakan anak-anak terpilih dari berbagai daerah dengan beasiswa penuh. Dari 25 siswa yang diterima setiap tahunnya, 20 siswa dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dan 5 siswa dari keluarga berada yang kelak akan memberikan subsidi pendidikan.
Membawa rombongan sebanyak 25 siswa kelas VIII cukup menantang. Namun dengan didampingi Mas Akso dan Pak Harun, tugas ini menjadi lebih ringan. Ini adalah tugasku yang ketiga kalinya setelah sebelumnya mengantar siswa kelas IX dan X. Sebelum berangkat, anak-anak sudah aku beri penjelasan rinci dan teknis, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang dibawa atau tidak atau prosedur-prosedur lainnya.
***
Aku melompat dari gerbong berlari menuju ruang stasiun karena gerbong paling belakang, tempat kami berada, tidak mendapat lantai pijakan dan cukup jauh dari ruang tunggu stasiun. Satu per satu aku mengecek pedagang kemudian menuju mushola dan toilet. Nihil.
Lonceng stasiun tanda kereta akan diberangkatkan sudah berbunyi. Mulai panik, aku berlari kembali ke gerbong.
"Nggak ada Ust!" teriak Mas Akso berlari dari gerbong depan.
Saya melompat turun ke sisi gerbong yang lain. Tidak terlihat.
Aku naik ke gerbong lagi berharap Rahman sudah kembali. Nggak ada juga.
Bersandar di pintu bordes (sambungan gerbong) aku berpikir keras. Tiba-tiba ...
"Itu Rahman Ust!" teriak anak-anak menunjuk Rahman yang datang dari arah depan.
"Dari mana Rahman?" tanya anak-anak.
Rahman menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat dan bangga sementara perlahan kereta api mulai berjalan.
...
"Apa?!!" teriakku kaget.
Aku peluk Rahman di antara rasa marah dan lega yang berbaur. Aku duduk di sampingnya, mendengar ia menuturkan cerita. Setelah terlihat ia puas bercerita, aku mengajaknya duduk terpisah dari teman-temannya. Ada penghargaan yang layak ia dapatkan,namun ada pelajaran yang harus ia peroleh agar lebih berhati-hati lagi. Ia telah menyusuri bawah gerbong, sementara sekian detik setelah ia naik gerbong kereta pun berangkat. Ah, apa yang terjadi jika terlambat, jika ...
Rahman adalah anak yang cerdas, rasa ingin tahunya sangat tinggi. Jika mengobrol suatu tema dengannya tak akan habis karena terus bersambung. Rahman anak cerdas, di antara kami bahkan mungkin Anda, hanya Rahman yang tahu warna, bau dan bentuk bagian bawah gerbong kereta api.
(Juara III Sayembara Cerpen "Pengalaman Terindah sebagai Guru", Juli 2013)
0 comments:
Posting Komentar