Cahaya Itu Tidak Lagi dari Bintang-bintang


Setelah shalat ashar, sambil rebahan santai di ruang shalat aku ngobrol santai dengan beberapa siswa. Hari ini adalah hari ini adalah pengumuman hasil ujian tertulis yang telah dilaksanakan selama satu pekan lalu. Sebetulnya masih ada ujian praktik selama empat hari kedepan dan ujian Al Qur’an selama satu pekan. Di tempatku mengajar ini, ujian semester merupakan proses yang cukup panjang dan menyita banyak pikiran dan energi ...

Sebut saja namanya Karim, seorang siswa kelas satu yang dikenal cukup kalem menanyakan hasil ujian mata pelajaran sains kepadaku. Aku tidak langsung menjawab, karena aku tahu bahwa beberapa nilai hasil ujiannya tidak sedahsyat semester satu. Sebetulnya tidak menurun, namun hasil yang diraih oleh siswa-siswa lainlah yang meningkat, meski dalam kegiatan pembelajaran harian Karim cukup menonjol, didukung oleh sikapnya yang kalem dan santun. Aku pun tersenyum ...

“Ustadz, kenapa ya hasil ujian kali ini tidak sebagus semester lalu?” tanya Karim.

“Maksudnya?” aku pura-pura belum tahu.

“Kalau dulu saya banyak dapat bintang, sekarang nggak dapat sama sekali,” keluhnya.

Bintang adalah simbol bagi siswa yang berhasil meraih nilai terbaik pada setiap mata pelajaran. Di tempat kami, pengumuman hasil ujian adalah berupa huruf L* jika lulus dengan nilai terbaik, L berarti lulus dan P berarti perlu perbaikan. Jika siswa ingin mengetahui nilainya, bisa langsung menghubungi guru mata pelajaran yang bersangkutan dan hanya bisa mengetahui nilainya sendiri.

Aku pun tersenyum sambil menatap wajahnya yang kurang semangat, “Kalau Karim sendiri sudah tahu penyebabnya?”
Dia agak ragu menjawab ...

“Bukannya saya menyalahkan, Ustadz. Tapi memang saat belajar saya kurang maksimal karena harus mengajari Ahmad (bukan nama sebenarnya, tentang Ahmad lihat di artikel “Semua Remidial!”), kasihan dia Ust,” Karim mulai mengawali ceritanya.

Mendengar cerita tersebut aku ingat, memang di asrama Karim hampir selalu mendampingi Ahmad belajar. Sampai suatu aku mendengar ketika Karim mengajari Ahmad dengan sabar mengulang-ulang penjelasan karena Ahmad belum paham. Bahkan Kepala Asrama sendiri mengakumenjadi paham dengan pelajaran tersebut karena Karim menjelaskan dengan detail sementara Ahmad belum memahaminya, hingga diulang dan diulang terus. Mashaallah.

“Karim ..., yang paling ingin lakukan agar bahagia apa?” tanyaku padanya. Aku tahu, Karim adalah anak yang sangat patuh pada Ibu dan Ayahnya.

“Membuat senang Ummi dan Abi, Ust.,” jawabnya singkat.

“Begitu juga Ustadz. Yang membuat Ustadz bahagia adalah ketika kalian itu berhasil. Berhasil bukan hanya dilihat dari nilai saja. Kalian bisa berperilaku baik, kalian bisa membuat sebuah karya, kalian meningkat prestasi belajarnya. Itulah yang membuat bahagia Ustadz sebagai guru, anak-anaknya berhasil.”

Ia diam termenung.

“Ahmad, teman Karim yang mengalami kesulitan belajar, bagaimana hasil ujian kali ini? Ia banyak peningkatan. Semester lalu ia selalu menjadi yang paling bawah, namun sekarang ia berhasil meningkat,” aku mencoba memberikan pemahaman.
Wajah Karim mulai cerah ...

“Karim, kalau Karim bisa mengajak temannya untuk berhasil, itulah yang namanya prestasi. Prestasi itu bukan berhasil sendirian .... Buat apa berhasil sendiri? Tapi prestasi itu adalah menjadikan orang lain bersama-sama untuk berhasil,” lanjutku.

“Tapi, bagaimana caranya menjelaskan ke Ummi dan Abi jika nilai-nilai saya turun?” sela Karim.
“Prestasi tidak selamanya bisa diukur dengan nilai. Berapa nilai Karim ketika berhasil mengangkat Ahmad? Nggak bisa dinilai. Mungkin ini adalah sejarah pertama Ahmad mendapat nilai 98 untuk sejarah, 82 untuk sains, 72 untuk matematika .... Ini sejarah Ahmad tidak remidial ... . Karimlah yang ada dibalik semua ini dengan pertolongan Allah. Orang tua tidak akan sedih jika bintang-bintang itu tidak Karim raih, karena cahaya itu tidak lagi dari bintang, tapi dari hati Karim.”

Bagikan artikel melalui :

,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar