Berantemlah! Kadang-kadang Itu Perlu untuk Mendewasakan Kalian


"Ustadz, masa' bukunya diacak-acak?" gerutu salah seorang siswa sambil menunjuk-nunjuk bukunya yang berantakan.
"Kata Ustadz Hamdi, tadi kami disuruh mengeluarkan buku," bela siswa lain yang merasa dituduh.
"Tapi jangan begini donk caranya," timpal siswa yang lebih senior, "kan ada adabnya, izin kek! Lebih pengertian dikit kenapa? Kami kan mau UN, kalian tahu rasa nanti kalau kelas tiga!"
"Yang numpuk di situ bukan kami, tapi Mas Hasan, jadi jangan salahkan kami donk!" teriak siswa yang merasa dipersalahkan.

***

Sore ini aku kumpulkan siswa kelas 2 dan kelas 3 di ruang kelas yang 'dipersengketakan'  (he..he..macem Indonesia dan Malaysia saja ..., tapi nggak sedramatis itu kok.)

Kejadian bermula saat kelas 3 harus pindah ke ruang kelas yang baru, sementara kelas yang lama akan ditempati oleh siswa kelas 2 yang selama ini kelasnya masih satu ruang dengan aula yang disekat. 

Masalah pun  terjadi saat siswa kelas 3 melihat buku-bukunya ditumpuk jadi satu di sudut ruang kelas mereka yang lama (aku sebut ruang kelas 2, karena sekarang ditempati siswa kelas 2). Mereka menyalahkan siswa kelas 2 yang hanya asal saja mengeluarkan buku dari lemari dinding tempat menyimpan buku. Terlebih banyak sekali lembaran-lembaran soal latihan ujian nasional (UN) berserakan dan berkumpul dengan berkas-berkas lainnya. Sementara sang adik yang (sebagian) tampak ketakutan dengan marahnya kakaknya juga memiliki argumen, disuruh mengeluarkan barang-barang di lemari dinding dan diganti dengan buku-buku mereka. 

Masalah lain yang tak kalah seru (whaa!! masalah kok dibilang seru? nggak tahu lah istilah yang tepat...) adalah siswa kelas 3 terbiasa belajar malam dan tidur di ruang kelas untuk shalat tahajud bersama pada pagi harinya di kelas 2 yang dulu adalah ruang kelas 3. Siswa kelas 2 menolak jika kelasnya digunakan untuk belajar malam, soalnya mereka juga ingin mengadakan kegiatan belajar malam.  

Aku hanya duduk diam di antara dua kelompok yang sedang berselisih itu, membiarkan mereka mengeluarkan uneg-uneg yang terpendam. Setelah lama berdebat, akhirnya mereka capek juga sampai hanya terdiam lemes. Nahh .. kalau sudah begini giliran aku yang bicara. Aku mulai bercerita tentang anak-anak Indonesia yang dalam usia sangat muda sudah berkreasi dengan membuat antivirus ARTAV, SalingSapa.com dan software pendidikan, saat anak-anak itu masih SMP. Kebetulan siangnya ada acara di tvOne yang menghadirkan ke-lima anak-anak itu. Aku tahu kalau mereka, bahkan hampir semua siswa di sekolahku tergila-gila dengan komputer, itu makanya kalau pelajaran komputer selalu datang tepat waktu, tertib dan keluarnya pasti molooor waktunya. Karena aku desain pelajaran komputer langsung praktik, tidak ada teori-teorian, nggak ada ulangan tertulisnya : semua beraksi di lab komputer.

Nggak nyambung dengan permasalahan sengketa kelas kan? Tapi yang jelas mereka mulai memasukialpha zone sehingga anak-anak ngikuti ceritaku dan banyak tanya ini-itu. Baru aku sampaikan permasalahannya, sekolah kita masih terbatas dalam fasilitas, kita harus saling mengerti dan saling berbagi. Aku ceritakan riwayat sekolah kita jaman dulu, kelasnya di garasi! Aku juga ceritakan kamarku yang selalu nomaden, pindah ke sana kemari, semua itu karena kita masih berproses. Kataku pada mereka.

Aku lemparkan kembali kepada mereka, selanjutnya bagaimana?

Ketegangan pun mulai lagi dengan saling menuntut haknya dan memberikan syarat. Masih ada perdebatan, tapi tak setegang yang pertama, intonasi suaranya tidak ada yang meninggi, bahkan sudah mulai keluar banyolan-banyolan di antara mereka. Sampai nggak tahu kok tiba-tiba bisa nyambung pembicaraan tentang salah seorang Ustadz yang baru menikah sekaligus wali kelas 1 yang akhirnya perbincangan menjadi banyak ketawa-ketawa. Oooo ... aku temui sebuah paradoks : ternyata jika memiliki 'musuh' yang sama, manusia yang bermusuhan bisa kompak! 

Pelan-pelan akhirnya ketemu juga saling pengertian di antara mereka setelah aku bicara sedikit saja analisa ku tentang akar masalah, yaitu salah paham. Aku juga mencoba menyampaikan keinginan masing-masing, sebagaimana anak yang sedang tumbuh remaja, tentang privasi.

Kesepakatan pun terjadi, dari mereka dan untuk mereka. Aku bahkan tak sedikit pun memberikan usul tentang penyelesaian masalah, hanya menemani mereka dalam mengeluarkan uneg-uneg dan sesekali menimpali dengan banyak cerita yang nggak nyambung. 
Kelas dua mempersilahkan kakaknya untuk menggunakan ruang kelas mereka untuk belajar malam (karena ruang kelas 3 letaknya jauh dari asrama, tidak satu komplek, sementara ruang kelas 2 satu komplek dengan asrama) sampai bulan April, UN. Lemari dinding dibagi dua blok, sampai April juga. Syaratnya : siswa kelas 3 tetap menjaga kerapian, tidak boleh ada buku yang ditinggal di meja setelah belajar malam. Selain itu, loker buku yang direncanakan untuk siswa kelas 3 digunakan oleh kelas 2. Siswa kelas 3 tidak boleh menyalahkan siswa kelas 2 terhadap berantakannya buku, karena sebetulnya mereka sudah tata per anak, tapi kemudian 'diberesi' oleh mas Hasan. Maka tanggung jawab untuk merapikan buku tersebut ada pada siswa kelas 3, secepatnya beres. Bahkan saking kompaknya, mereka sepakat untuk 'memaksa' saya menyediakan 'wedang' karena mereka telah menyelesaikan masalahnya.
... dan sebagainya ...

Alhamdulillah, selesai juga. Tanpa harus adu fisik, hanya mengeluarkan uneg-uneg saja, mereka bisa menyelesaikan masalah sendiri. Itulah yang namanya belajar menjadi orang dewasa. 

Jakarta, 26 Februari 2011.

Bagikan artikel melalui :

, ,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar