Puisi : Ironi Menyambut Lebaran, Catatan dari Pojok Pasar

Hari ini jalan-jalan ke pasar Muntilan.
Jalan sudah rame, sudah mulai banyak mobil plat "B" berlalu-lalang.
Ooo.. harga cabe sudah turun,
syukurlah,
tp harga minyak dan ayam potong naik.

Toko terbesar : LA*IS (milik non-muslim) rame diserbu pengunjung,
persiapan lebaran kata orang-orang itu,
termasuk juga toko-toko pecinan lainnya.
Jual-beli dengan mereka halal sih, tapi ...
Siapa yg sebenarnya lebaran?

Padahal dalam pasar tradisional, pribumi muslim tengah terhimpit.
Bayangkan untuk dapat uang, ada di antara mereka jual tanah.
BUKAN!!
Bukan tanah sekian hektar,
tapi tanah sak glundhung,
seperti telur, 100 rupiah,
katanya agar kalo masak daun pepaya tidak pahit.
Ibuku pun beli dua glundhung.
Satu untukku,
ntah nanti saya uji lab di Jakarta,
kali aja jadi penemuan besar
dari keringat orang pribumi, ntar dipatenkan.

Ada juga di depan pintu timur,
orang-orang berjualan kembang
untuk nyekar di kuburan
se-pincuk harganya dua ribu
dapat tujuh rupa bunga
sebagai THR lebaran untuk para arwah

Sementara di sisi utara,
penjual bakso,mie ayam dan tongseng
sibuk melayani pembeli.
Kadang kala ada yang malu-malu ketika mau masuk,
harus clingukan kanan-kiri,
kali aja ada tetangga yang lihat.
Namun banyak juga yang slonong boy
masuk warung bludas-bludus tanpa merasa dosa.

Di sana sini banyak muda-mudi
berpakaian aneh,
marasa seperti artis di Jakarta
Padahal aku yang tinggal di Jakarta
Nggak pernah terpikir
Punya baju seperti itu
Sekarang pun aku hanya
pakai kaos oblong
dan sandal jepit hitam
asli Jakarta
Norak benar orang-orang kampung ini

Ah, inilah wajah kota kecilku : Muntilan.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar