"Aku ingin bunuh diri," kata seorang siswa kepadaku.

Matanya menatap sendu kearahku, terlihat putus asa. Saya sangat memahami perasaannya yang tengah diliputi rasa malu akibat ia terlupa dalam sebuah perbuatan yang memang benar-benar memalukan di lingkungan asrama meskipun sebetulnya jika di dunia luar, hal itu adalah banyak terjadi.

Sebuah beban berat yang harus ditanggung muridku yang memang memiliki problem keluarga, broken home, ayah ibunya cerai. Meskipun sebetulnya persoalan itu hanya saya dan kepala sekolah yang tahu, namun tetap ia merasa tak kuat menahan malu. Beruntungnya, sekolah kami bukanlah sekolah yang jika ada anak yang mengalami suatu masalah peraturan berbicara dan selesai . Tidak! Sekolah kami membantu para siswa yang bermasalah untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk sekedar menjadi pendengar bagi anak yang ingin curhat. Dan kali ini saya belum pernah menghadapai seorang anak yang begitu putus asa seperti ini. Namun pikiran ia untuk bunuh diri sudah sempat terprediksi, terlebih bahwa sekolah kami berlantai empat yang artinya sangat mudah bagi siswa untuk meloncat, dan aku tak pernah membayangkan jika benar-benar terjadi.

Akhirnya saya harus melakukan sesuatu, cukup lama juga bagiku untuk menentukan, apa yang harus saya lakukan. Saya minta bantuan beberapa teman lainnya utnuk mengawasinya jika gerak-geriknya mulai mencurigakan, dan sampai suatu hari pun hampir terjadi. Dari halaman, saya melihat ia termenung di bibir pembantas, cukup lama. Tanpa membuang waktu, aku berlari dan menaiki gedung dari lantai dasar smapai lantai empat. Tampak kaget ia saat mengetahui kedatanganku, saya pun terus mendekatinya secara perlahan dan kuajak mengobrol di bangku teras. Ia sudah mengeluhkan pandangan teman-teman yang menurutnya berbeda, begitu juga sikap beberapa guru. Saya pun terus meyakinkah bahwa hanya tiga guru yang tahu : kepala sekolah, kepala asrama dan saya (meskipun waktu itu posisi saya bukan sebagai wali kelas atau pengasuh, hanya teman curhat)

Apa yang saya lakukan hingga anak tersebut mampu bangkit?
Cukup lama untuk memulihkan rasa percaya dirinya, bahkan sudah satu semester berlalu tetap ia merasa minder, kadang-kadang. Saya hanya meyakinkan bahwa kami, para guru tetap menerima ia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya harus menunjukkan bahwa saya tidak merasa jijik, malu atau marah memiliki murid seperti ia, justru saya bangga jika ia mampu bangkit. Saya terus memotivasi, apa yang harus dilakukan setelahnya, bukan memikirkan apa yang telah terjadi (demikian biasanya para psikolog mennagani anak-anak trauma). Untuk mengobati rasa kecewa terhadap diri sendiri, saya beri masukan : obat terbaik menghapus kekecewaan adalah dengan menebus semua kesalahan dengan kebaikan. Tak mudah memang dan perlu waktu yang cukup lama ... Sampai kadang-kadang saat istirahat malam pun ia mengetuk kamarku hanya untuk mengungkapkan perasaannya.

Saya percaya ia anak baik, dan ia mampu untuk bangkit.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar