Tenang dalam diamnya, tetapi lebih jelas dari bicaranya ...

Sebuah tulisan dinding facebook dari temanku di atas mengingatkanku pada minggu yang lalu ketika aku masuk ke kelas yang selalu membuatku rindu, kelas 3. Aku sudah mempersiapkan semangat tinggi untuk mengajar Matematika sebagai persiapan menjelang Ujian Nasional 2010.


Namun semangat tinggiku lenyap seperti ditelan badai saat lima menit mengajar. Anak-anakku yang biasanya tangguh, kini tampak sayu, tak bersemangat. Tentu hatiku juga menjadi kacau melihat hanya sedikit anak yang respek mengikuti pelajaran. Mungkin karena mereka sehabis mengikuti kegiatan Tifan (sejenis bela diri) sehingga energy mereka terkuras, meski sebelumnya sudah aku nasihatkan untuk mandi sebelum mengikuti pelajaran dan hanya sedikit yang mengikuti anjuranku. Dan ketika kekecewaanku kepada mereka mencapai puncaknya, aku ungkapkan perasaan ini kepada mereka. Mereka pun terhenyak ketika aku meninggalkan kelas untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk introspeksi diri.

Aku ingat akan sebuah buku tentang mengelola anak didik, diamlah karena itu lebih tegas. Mengambil moment ini aku sengaja mendiamkan dan tidak respek pada mereka untuk beberapa saat, kecuali jika mereka yang menyapaku lebih dulu. Bukan karena ngambek, namun ada banyak hal yang ingin aku ajarkan kepada mereka.

Pada hari kedua aku sengaja menunda waktu untuk masuk kelas, aku ingin tahu apa reaksi mereka. Sungguh melegakan hatiku, mereka datang ke kantor dan dengan penuh harap memintaku untuk masuk kelas. Namun maaf anak-anakku, saat itu aku sedang tidak ingin masuk kelas. Aku persilakan mereka untuk belajar mandiri.

Pada hari ketiga aku juga menunda waktu untuk masuk kelas dan aku sangat penasaran dengan reaksi mereka. Dan sungguh membuat hatiku tidak perlu merasa khawatir, mereka membujukku untuk mengajar. Namun sekali lagi maaf anakku, aku belum bisa masuk kelas saat itu. Aku masih mempersilahkan mereka untuk belajar mandiri.

Yang perlu diingat, aku hanya berlaku demikian pada jam sekolah karena pada jam luar sekolah interaksi kami seperti biasa (meski tetap tidak semurni sebelumnya) kecuali hanya beberapa anak yang merasa sungkan untuk bertemu denganku. Aku tetap memantau penuh kegiatan belajar mereka, tetap melayani anak yang datang ke tempatku untuk dibimbing belajarnya, tetap memantau kondisi kelas mereka, tetap memperhatikan kesehatan dan asupan gizi mereka lewat beberapa anak di antara mereka yang selalu memberikan informasi kelas. Aku tetap mencintai mereka meski dengan cara berbeda.

Dari sini aku dapat mengamati anak yang benar-benar belajar sehingga mereka minta diajari teman atau datang ke tempatku atau mereka yang mau mengajari, yang egois, yang masih bercanda, yang merasa bersalah, yang membutuhkan, yang mau belajar dengan cara sendiri, yang maunya sendiri, yang bingung harus berbuat apa, yang perhatian dengan teman, yang perhatian denganku, yang tegang, yang putus asa, yang mengeluh, yang semangat meski tak ada guru, yang santai-santai dan banyak karakter unik lainnya dari anak-anak hebat ini tampak begitu jelas … Aku pun menyampaikan hasil pengamatan tentang karakter yang muncul sebagai bahan evaluasi kami dalam menghadapi Ujian Nasional 2010. Dan akhirnya …

KAMI DATANG KE SINI UNTUK UNTUK MENANG!

Anak-anakku, aku tuliskan lagi catatanku beberapa saat lalu …

Anak-anakku yang Allah titipkan kelembutan hati padamu, jika kadang aku berlaku keras kepadamu, maafkanlah aku. Percayalah, itu hanyalah caraku yang tak ingin melihatmu gagal. Bagi seorang guru sepertiku, kesedihan terdalam adalah saat melihat murid-muridnya menghadapi kgagalan. Maka bahagiakanlah aku dengan keberhasilnmu ...

Karena aku ingin lebih tenang dalam diamku, namun lebih jelas dari bicaraku ...

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar