Mereka Menuduhku Mencuri, maka Jadilah Aku Seorang Pencuri

Siang itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah Pagu, Kediri, Jawa Timur geger. Pengurus Bagian Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri berambut gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta ampun.

"Ampun, tolong jangan pukul saya. Saya tidak mencuri!" Santri yang mukanya sudah berdarah-darah itu mengiba.


"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!" Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah sangat geram.


"Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambut Gondrong itu tetap tidak mau mengaku. Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya.

"Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong mengaduh lalu pingsan.


***

Singkat cerita, Syamsul Hadi, santri yang dituduh mencuri oleh teman-temannya, Bagian Keamanan, Lurah Asrama bahkan Pak Kiai pun tak mempercayai pembelaanya, mendapat hukuman dicukur gundul dan diusir dari pesantren. Karena ia tak melakukan perbuatan yang melanggar aturan, justru difitnah oleh temannya sendiri, ia pergi meninggalkan pesantren dengan ancaman, sebagai luapan kekecewaan yang begitu mendalam :


Sebelum ia meninggalkan ruangan itu ia tegakkan kepala dan berkata setenang mungkin, "Pak Kiai, Panjenengan sudah melakukan tindakan zalim dengan memperlakukan saya seperti ini. Panjenengan belum melakukan tabayun yang sesungguhnya. Dan kalian para pengurus yang memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena, dengar baik-baik, kalian telah melakukan dosa besar! Kesalahan besar! Ini hak adami. Suatu saat kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kalian akan tahu kelak siapa sebenarnya rayap itu. Dan aku tidak akan memaafkan dosa kalian semua kecuali kalian mencium telapak kakiku!"
Siksaan batin yang dialami Syamsul sebagai tertuduh pencuri tidak berakhir di pesantren, namun tetap berlanjut di rumahnya sendiri : Ayah, ibu dan saudara-saudaranya juga tak lagi mempercayainya meski pun ia bersumpah bahwa ia bukan pelaku pencurian. Hingga akhirnya ia pergi dari rumahnya, menggelandang entah kemana karena memang tak ada lagi yang mempercayainya.

Cap sebagai pencuri telah menempel pada sosok Syamsul, dan semua orang telah menganggapnya sebagai penyakit. Maka ketika hidup menggelandang, jadilah ia seorang pencuri. Pertama kali menyesal, namun akhirnya ia ulangi juga perbuatan kriminal tersebut!

***

Meskipun hanya sebuah cerita Dalam Mihrab Cinta, namun pelajaran berharga yang dapat kita ambil adalah bahwa kita harus berhati-hati saat mencurigai, menyangkakan atau menduduh anak atau siswa kita telah melakukan perbuatan melanggar aturan. Hal ini dapat menjadi bumerang untuk kita, sebagai orang tua ataupun guru. 



Memberi cap atau stempel yang tidak baik pada anak atau pun siswa sungguh sangat berisiko, sebagaimana dapat anda dalam artikel Hati-hati Memberi Cap pada Anak.


Bagaimana jika anak memang benar-benar melakukan suatu kesalahan? 
Kebanyakan orang tua hanya berhenti pada langkah memarahi dan memberikan vonis kepada anak bahwa si anak telah melakukan kesalahan dan pribadinya telah tercoreng atau membuat malu keluarga. Selesai.


Padahal yang perlu kita sadari adalah setiap manusia PASTI pernah tergelincir, bahkan sahabat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pun pernah, meski beliau ada bersama mereka. Karena mereka adalah manusia, seperti juga kita, seperti juga anak-anak kita. 

Yang pertama kali kita lakukan adalah menerima pengakuan mereka, berikan penghargaan yang tinggi atas keberanian anak untuk mengakui kesalahan karena pengakuan atas kesalahan adalah satu hal yang sangat berat. 


Anda tentu kecewa sekali dengan kesalahan anak, maka ungkapkanlah kekecewaan itu dengan lembah lembut, (baca kembali : Berbicara Kepada Anak ketika Anak Bersalah) namun jangan hanya berhenti di sini. Langkah selanjutnya adalah memberi anak kepercayaan untuk memperbaiki diri dan bangkit serta menebus kesalahan yang telah dilakukan dengan kebaikan.


Anda harus berorientasi ke depan, apa yang harus dilakukan dalam memperbaiki, bukan mengungkit-ungkit kesalahan, karena kesalahan itu telah terjadi dan tak bisa dihapus.

Bagikan artikel melalui :

,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar