KUTANG UNTUK KYAI

1. Meski saya bukan orang NU, tinggal bukan di lingkungan NU, tapi saya cukup tertarik dengan pola asuh para kyai terhadap santri-santrinya. Seperti dulu pernah saya ulas lewat tulisan ini : https://www.facebook.com/ad.zadani/posts/10202566895515229. Kali ini cerita tentang pengalaman Gus Dur.

2. Setelah menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang, Gus Dur diminta KH Abdul Fattah Hasyim, untuk membantu mengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum di Tambakberas Jombang. Usia Gus Dur saat itu menginjak 20 tahun.


3. Gus Dur membantu Kiai Fattah mengurus pesantren sebagai kepala keamanan. Tugasnya cukup sederhana, yakni menindak santri yang melanggar peraturan.

4. Saat itu ia punya satu santri yang luar biasa nakal. Hal itu bahkan sampai membuat Gus Dur “niteni” setiap kesalahan yang diperbuatnya karena begitu jengkel. Bagaimana tidak jengkel jika kulit bedug di pesantren sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya berlubang-lubang?

6. Akhirnya terjawab kenapa kulit bedug ini bisa hilang. Dicuri santri. Setelah ketahuan, si santri dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Kenapa kamu mencuri kulit bedug?” tanya Gus Dur, “Kamu jual ya? Biar dapat duit?”

7. Si santri menunduk diam saja. Setelah didesak berulang kali akhirnya si santri menjawab, “Anu, Kang, digoreng buat lauk makan. Jadi krecek.” Dengan alasan itu, Gus Dur tidak menindaklanjutinya dengan takzir berlevel keras. Si santri tetap dihukum, tapi masih pada level-level ringan.

8. Si santri ini tetap nakal. Bahkan ia sering masuk ke kompleks pondok putri. Mengintip para santri putri. Masalahnya tidak pernah bisa ditemukan bukti-bukti yang bisa digunakan untuk melaporkan si santri kepada Kiai Fattah.

9. Kenapa harus dilaporkan ke Kiai Fattah dan tidak ditindak oleh keamanan? Sudah jadi pandangan umum di pesantren, jika pelanggaran yang dilakukan termasuk tingkat tinggi, maka dibawa ke pengasuh. Dan hukuman yang menanti pun tingkatnya ada di level tertinggi pula, yaitu diusir dari pondok pesantren.

10. Karena selalu gagal dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT), Gus Dur akhirnya memilih cara alternatif untuk bisa menjerat santri nakal tersebut. DIlakukan razia ke lemari-lemari santri putra. Benar saja, dalam lemari santri yang dimaksud, ditemukan sebuah kutang.

11. Gus Dur senang, karena dengan ini si santri akan mendapatkan hukuman tertinggi. Dengan bungah Gus Dur pun menghadap ke Kiai Fattah sambil membawa kutang sebagai alat bukti. Gus Dur pun menceritakan kronologi kasus tersebut. Disampaikan pula rekomendasi dari bagian keamanan, agar santri tersebut dikeluarkan.

12. “Lho, santri nakal, kok, dilaporkan ke aku? Mau dikeluarkan lagi,” kata Kiai Fattah, “Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal,” tambah Kiai Fattah.

14. “Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya sepakat,” kata Kiai Fattah. Gus Dur tersenyum senang mendengarnya.

15. “Keluar dari pondok, lalu masuk ke sini saja,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri. "Maksudnya, Kiai?” tanya Gus Dur terkejut. “Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Kamu aturlah sama teman-temanmu. Mulai hari ini santri itu dipindah ke sini,” kata Kiai Fattah.

16. Pada akhirnya, karena kamarnya dekat dengan kamar Kiai Fattah, si santri jadi orang pertama yang selalu ditemui beliau ketika bangun tidur, berangkat ngaji, sampai dengan salat tahajud.

17. Ketika Kiai Fattah mengajar ngaji, si santri disuruh membawakan kitab dan menandai halaman-halamannya. Hal itu tanpa sadar membuat si santri mau tidak mau ikut belajar mengaji tanpa bisa membolos satu kali pun.

18. Selain itu, setiap Kiai Fattah akan salat, santri ini disuruh mempersiapkan tempat salat. Entah itu salat wajib atau pun sunah. Dengan pola seperti itu, akhirnya si santri terpaksa mengikuti laku hidup Kiai Fattah selama bertahun-tahun.

19. Pada akhirnya, diawali dengan terpaksa, si santri jadi terbiasa dan benar-benar menjadi santri yang lurus.

20. “Baik secara syariat, akhlak, maupun aturan pondok pesantren, ngintip ke dalam pondok putri adalah pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan,” kata Gus Dur. Tapi keputusan Kiai Fattah benar-benar memberi pelajaran berharga bagi kita.

21. Kisah di atas cukup masyhur di kalangan warga Nahdliyin, termasuk pernah diulas oleh KH Anwar Zahid.

22. Menurut saya, menghukum memang jalan termudah, tapi hukuman harus diposisikan sebagai salah satu cara mendidik. Artinya masih ada cara lain.

23. Penegakan hukum bukan sekedar pembalasan atas perbuatan, namun lebih pada menjaga keseimbangan sosial. Apalagi hukuman kok sampai "membunuh" siswa. Nggak sepakat blasss.

Wallahu a'lam.

Notes :
Poin 13 sengaja dikosongin hhe..he.., sampeyan juga baru nyadar yak?

Bagikan artikel melalui :

,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar