[Tweet] UN? Nggak Usah Lebay, Dia Gagal Mengukur Kecerdasan
1. Hasil UN SMA/MA telah diumumkan. Mengingatkan kita betapa aura pesta tahunan ini yang begitu gegap gempita, selalu ada berita. Dari pro-kontra dengan dasar ilmiahnya masing-masing pendapat hingga tindakan yang tidak rasional sama sekali : kesurupan, pensil didoakan, kecurangan yang massal dan terstruktur, melibatkan dukun, dsb. Dampak UN memang dahsyat!! Aneh memang. Ujian Nasional dimaksudkan menguji intelektual, tapi dihadapi dengan tindakan irrasional yang luar biasa.
2. Yang paling tampak adalah sekolah bersaing keras satu sama lain demi mencapai predikat terbaik sesuai dengan alat ukur yang ditetapkan pemerintah tersebut. Membuat ruang kelas menjadi mirip pabrik untuk memproduksi sumber daya manusia yang seragam. Guru tak lagi mendidik, ia hanya mengajar. Murid tak lagi tumbuh, ia hanya menambah pengetahuan. Pendidikan agama atau budi pekerti hanya berlaku di kelas, diuji dengan soal-soal tertulis.
3. Ujian nasional seharusnya memang tidak perlu disikapi dengan lebay. Sama seperti ujian semester. Sayangnya, kadang orang tua dan sekolah yang mengkondisikan UN seolah ritual suci yang tidak boleh ada dosa. Orang tua semakin rajin memberikan petuah dan menyibukkan sang anak di lembaga bimbingan belajar (bukan belajar, tapi : berlatih menjawab soal). Sementara sekolah pun tak mau kalah heboh karena kelak akan berpengaruh pada ranking sekolah.
4. Setelah membuang pelajaran non-UN, materi pelajaran UN dibonsai : hanya yang sesuai SKL/Kisi-kisi. Seluruh waktu dicurahkan untuk berlatih dari buku-buku koleksi soal yang sangat tebal. Program pendalaman materi (atau tepatnya penambahan jam belajar) mampu membuat anak yang tak paham menjadi cekatan menjawab soal UN hanya dalam waktu beberapa bulan. Murid sekadar hafal rumus atau mampu meniru guru, walau sesungguhnya tak paham, tetapi dapat memilih jawaban benar pada kebanyakan soal. Dan lulus.
5. Padahal tujuan belajar bukanlah menjadikan anak terampil mengerjakan soal, terlebih piihan ganda. Bukan pula menyelesaikan masalah dengan beragam rumus praktis, smart solution, rumus canggih dan segala bentuk penyelesaian instan. Hasil belajar mengajar adalah pengetahuan, hasil pendidikan adalah karakter. Yang pertama adalah agar anak didik lulus ujian sekolah, yang kedua agar mereka lulus ujian kehidupan.
5. Padahal tujuan belajar bukanlah menjadikan anak terampil mengerjakan soal, terlebih piihan ganda. Bukan pula menyelesaikan masalah dengan beragam rumus praktis, smart solution, rumus canggih dan segala bentuk penyelesaian instan. Hasil belajar mengajar adalah pengetahuan, hasil pendidikan adalah karakter. Yang pertama adalah agar anak didik lulus ujian sekolah, yang kedua agar mereka lulus ujian kehidupan.
6. Sangat sedih ketika mendengar siswa, "Yes, nomor 5 aku benar, padahal cuma nebak doang!" Dan kelak akan mendapat poin 1. Sementara yang lain cemberut karena sudah berupaya keras dan tergelincir. Skor 0. Bukan itu hakikat ilmu. Jika demikian, kelak dari sekolah keluarlah manusia-manusia robot. Matanya memandang, tapi tak melihat. Telinganya terbuka, tapi tak mendengar. Otaknya mengolah informasi, tapi tak berpikir. Jantungnya berdenyut, tapi tak berempati.
"Pendidikan seharusnya mengajari Anda bagaimana cara belajar dan bukan memberi instruksi tentang suatu pelajaran tertentu. Apa yang harus dipelajari tidaklah benar-benar penting. Yang penting adalah bagaimana mempelajarinya.
Karena sekarang, mempunyai keterampilan belum tentu lebih baik. Kekayaan bisa habis, keterampilan bisa usang. Hanya kemauan untuk belajar yang tetap tinggal selamanya dan takkan pernah usang."
(Konosuke Matsuhita)
Tweet dari : @ad_zadani (praktisi pendidikan, konselor remaja)
Karena sekarang, mempunyai keterampilan belum tentu lebih baik. Kekayaan bisa habis, keterampilan bisa usang. Hanya kemauan untuk belajar yang tetap tinggal selamanya dan takkan pernah usang."
(Konosuke Matsuhita)
Tweet dari : @ad_zadani (praktisi pendidikan, konselor remaja)
0 comments:
Posting Komentar