(PESAN SAYA) OMDO dan Ngeyel dengan Ilmu

Waktu hampir maghrib, suasana pun sudah mulai temaram. Saya memasuki ruangan hendak menyalakan lampu. Ternyata sudah ada orang dewasa yang sedang duduk, sibuk bermain dengan laptopnya.

"Kok gelap ya Mas ...," ujarnya pada saya.

Tahukah? Saklar untuk menyalakan lampu persis ada di sampingnya, tak sampai dua meter. Dan saya yakin ia mengetahui bagaimana agar lampu itu menyala. Namun, ternyata tahu saja tidak cukup.

Di lain waktu, saya menyimpan kue untuk rapat. Qadarullah pagi hari sebelum rapat saya mendapat kabar bahwa mertua saya meninggal dunia, saya pun lupa untuk berpesan kepada rekan kerja tentang kue tersebut. Lima hari saya tinggal tentu membuat kue tersebut ditumbuhi jamur, dan saya belum ingat.

Sampai suatu hari, saya tahu bahwa ternyata kue-berjamur tersebut sudah menjadi omongan. Saya pun baru 'ngeh' dan mengecek kue tersebut. Ternyata memang benar jamuran, dan masih teronggok di lemari. Ya, banyak orang sudah tahu bahwa kue tersebut sudah jamuran dan tidak layak dikonsumsi sampai menjadi bahan obrolan. Dan hanya sampai di situ, tidak ada yang membuangnya.

Bahasa anak muda adalah OMDO : omong doang, atau NATO : No Action Talk Only.

***

Jadi teringat sebuah kisah yang menceritakan tentang perdebatan dua orang. Mereka melihat sesosok binatang di kejauhan.

Mukidi (M) : "Lihat, saya yakin itu adalah kambing."
Teman Mukidi (T) : "Masa' sih. Kambing kok warnanya hitam."
M : "Ya, kan ada kambing warnanya hitam."
T : "Itu gagak, soalnya kecil bentuknya."
M : "Itu kambing masih kecil."
T : "Tapi kakinya cuma dua."
M : "Bisa jadi kan?"

Akhirnya mereka mendekati binatang tersebut untuk membuktikan, maka terbanglah sosok binatang yang dimaksud.

T :"Tuuhkan, terbang, itu gagak."
M : "Bukan, itu kambing yang bisa terbang."
T : "Kok bisa?"
M : "Innallaha 'ala kulli syain qadir, Allah itu maha berkehendak, bisa saja menghendaki kambing terbang."

***

Untuk menemukan indera pendengaran belalang seorang ilmuwan melakukan percobaan.
Mula-mula ia memotong dua antena belalang. Kemudian ia bentak belalang tersebut. Meloncatlah si belalang. Kesimpulannya, antena belalang bukan indera pendengaran karena si belalang masih kaget dengan bentakan sang ilmuwan.

Ia pun melakukan percobaan lain, yaitu memotong ekor belalang. Kemudian sang ilmuwan membentak belalang tersebut. Ternyata si si belalang masih bisa melompat. Kesimpulannya, ekor belalang bukan indera pendengaran karena si belalang masih kaget dengan bentakan sang ilmuwan.

Percobaan berikutnya pun dilakukan, caranya adalah memotong dua kaki belalang. Seperti pada percobaan sebelumnya, sang ilmuwan membentak belalang tersebut. Ternyata si si belalang tidak dapat bisa melompat. Dengan gembira sang ilmuwan mengambil kesimpulan, indera pendengaran terdapat pada kaki belakang belalang. Alasannya karena tidak lagi mendengar bentakan, si belalang pun tidak melompat.

***

Cerita-cerita di atas menjadi pengingat, memiliki ilmu saja tidaklah cukup. Ilmu yang sekedar sebagai aset tanpa manfaat nyata bagi lingkungan justru berbahaya. Betapa banyak orang yang tahu bahwa menerobos lampu lalu lintas itu membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tapi ternyata banyak yang melakukan meski korban sudah berjatuhan, dan mereka tahu itu. Atau membuang sampah sembarangan adalah perbuatan tercela, namun coba lihat berapa banyak koran yang ditinggal berserakan setelah shalat ied. Dan mereka tahu itu.

Tahu cara dan bisa menyalakan lampu, tahu resiko menerobos lalu lintas, tahu dan bisa membuang sampah pada tempatnya, namun semuanya sekedar tahu. Tapi kenapa tidak sampai pada tindakan? MALAS.

Ada pula ilmu yang justru digunakan untuk sekedar modal ngeyel. Orang berilmu tanpa tindakan juga biasanya suka ngeyel, demi mempertahankan egonya.  Kadang-kadang menyajikan bukti yang tampak ilmiah, ya karena mereka memiliki ilmunya. Namun sayang, ketiganya sama : sekedar tahu tanpa tindakan. Dan kita berlindung dari sikap seperti ini.

***

Pesan tersebut saya sampaikan kepada santri dalam mengambil hikmah meninggalnya Chairul Huda, kiper senior Persela. Ia berbenturan dengan rekan se-timnya ketika berusaha menyelematkan bola. Bagi santri, resiko cidera harus menjadi perhatian ketika melakukan olah raga. Yang kedua, adanya peristiwa kebakaran di kontrakan samping asrama santri. Kipas angin yang meyala selama tiga jam tanpa ada penghuni diduga konslet. Selanjutnya percikan api menyambar helm dan barang-barang lain di kamar.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar