Petualangan Para Pembuat Pesawat Kertas

Saya pernah menjadi wali kelasnya pada saat mereka menjalani semester pertama di KAFILA. Saat itu pernah membuat catatan kecil tentang identifikasi riwayat mereka ketika di SD ataupun saat awal-awal belajar di pesantren ini. Beberapa nama telah saya serahkan kepada BK dan wali kelas setelah saya untuk ditindaklanjuti. Dan saya tidak lagi mengajar di kelasnya selama satu setengah tahun, karena saya harus mengajar siswa SMA.

Maka surprise sekali saya ketika diminta untuk mengajar anak-anak ini di kelas tiga. Pertemuan pertama cukup berkesan, meskipun ada sedikit masalah dengan salah satu santri ketika terakhir mengajar dulu. Melihat respon anak-anak dalam mengikuti hari pertama pelajaran fisika menjadikan saya lebih optimis dalam mendampingi mereka. Padahal sebelumnya saya diberikan daftar nama anak-anak yang dianggap bermasalah. Sementara beberapa nama sudah tidak tampak lagi, mereka dipulangkan.

***

Benar saja, ketika mulai memasuki materi pelajaran di hari-hari berikutnya tampak karakter 20 anak ini. Sungguh beragam, ada yang kalem dan tekun dalam kesendirian. Ada yang heboh, hobinya meramaikan kelas, ada yang hobi ngatur-atur tapi dia susah diatur, ada yang suka ngejahilin teman, ada yang sensitif banget, ada yang hobi nge-bully lewat candaannya, ada pula yang 'hobi' di-bully, rame, nggak kompak dan gado-gado banget kelas ini.

Cerita mereka di asrama pun membuat banyak guru menggelengkan kepala, misalkan saja tabubg APAR (alat pemadam api ringan) disemprotkan ke kamar. Entah waktu itu maksudnya apa. Yang pasti akibatnya adalah lantai asrama menjadi berwarna putih. Untuk menghilangkannya pun tidak mudah meski dibantu oleh tim cleaning service dari yayasan. Tak pelak, kejadian ini membuat kepala sekolah, kepala asrama dan bagian logistik memberikan teguran keras.

Di kelas, puncak dari kehebohan adalah ketika hari Selasa jam pelajaran pertama guru berhalangan mengajar. Mereka rame-rame menyobek buku tulis dan membuat pesawat-pesawat kertas. Akibatnya kelas menjadi berantakan dan kotor. Pelajaran berikutnya adalah saya, dan saya menemukan ruang kelas ini menjadi tidak kondusif untuk belajar. Bahkan karena ruang kelas yang berada di lantai empat membuat mereka mudah menerbangkan pesawat kertas ke sekitar dan berjatuhan di atap tetangga. Melihat hal itu, saya cuma duduk, diam. Marah namun tetap mengatur nafas dan berpikir. Ahhaaa ... .

"Semuanya, silahkan ambil lima kertas. Dan kita buat pesawat ini. Semuanya!" saya berdiri dan mulai berkeliling di antara tempat duduk mereka.

"Ustadz, saya nggak ikut-ikutan," ujar Karim.

"Saya juga, dari tadi belajar. Saya nggak ikut mainan pesawat," sahut Indra.

"Okey, silahkan angkat tangan yang mengotori atap tetangga!"

Lima orang mengaku, itulah salut saya kepada mereka. Tetap jantan.

"Yang bermain di dalam kelas?"

Sembilan orang mengangkat tangan. Sisanya, enam siswa tidak bermain pesawat kertas.

"Baik, saya ganti. Yang mengotori tetangga, siapkan sepuluh kertas, yang bermain di dalam enam kertas dan yang tidak ikut-ikutan tiga kertas." Saya berkata datar, pelan tapi tetap tegas.

"Kenapa kami juga?" timpal Abdullah.

"Tahu kalau teman kamu salah?"

"Iya."

"Apa yang kamu lakukan Abdullah? Karim? Indra?"

Mereka terdiam.

"Inilah masalah di kelas ini. Kalian sendiri tahu kalau kelas ini sering menjadi bahan pembicaraan para guru. Apakah semua anak yang membuat kelas seperti ini? Tidak! Hanya beberapa saja. Tapi kalian yang baik-baik ... hanya diam. Benar tapi hanya diam tidak memberi manfaat. Maka kalian pun tetap menanggung kesalahan ini," saya jelaskan panjang lebar.

***

Jadilah kompetisi mendesain pesawat kertas yang mampu terbang tinggi dan paling lama. Kelas menjadi riuh. Mereka mencoba menjelaskan dengan teori apa yang mereka rangkai sendiri. Mereka juga harus meminta maaf kepada seluruh warga KAFILA karena telah mencemarkan nama baik dan memberi contoh yang kurang baik bagi yang lainnya. Permintaan maaf juga disampaikan kepada warga yang atapnya dikotori dengan pesawat-pesawat kertas.

Di tengah kesibukan mereka membuat pesawat kertas, saya mencoba mengobrol dengan beberapa siswa, sesungguhnya apa yang terjadi di kelas ini. Labeling, inilah kuncinya. Mereka 'dengan sadar' menerima julukan kelas yang bermasalah, baik dari guru maupun dari siswa kelas lainnya. Akibatnya tentu menjadikan mereka 'bangga' dengan label tersebut dan terus 'membuktikan' dengan kehebohan-kehebohan baru.

Nggak apa-apa, kali ini pelajaran mengkhianati lesson plan yang seharusnya membahas tentang sumber energi listrik. Namun inilah yang harus mereka pelajari : Kreatifitas itu bukan untuk menantang ketaatan. Kreatifitas itu untuk menjaga ketaatan dalam kondisi semenantang apapun. Bukan sekedar menyalahgunakan istilah kreatif dan kritis, namun semangat kreatif ini tidak dibingkai dengan kekuatan taat.

***

Semakin mendekati ujian nasional, semakin stabil mereka. Semakin saling memahami, kompak dan saling membantu satu dengan yang lain. Sudah muncul pemimpin yang benar-benar bisa menjadi komandan kelas.

29 Maret 2016. Inilah yang membuat haru, ketika saya sedang lembur skoring hasil psikotes calon siswa baru tiba-tiba pintu kamar diketuk.

"Lagi sibuk Ust?" tanya Afif ketika pintu saya buka, "Ini Ust dari teman-teman," lanjutnya.
Kuterima segelas minuman jagung. Minuman apa ini? Kucicipi ... hahay, manis dan gurih. Pas banget waktunya, saya memang lagi kelaparan karena  nggak sempat makan malam.

Hampir setiap malam ada segelas minuman yang menemani pekerjaan. Yang paling sering dan menjadi favorit saya adalah tomat-cacah yang dicampur dengan jeruk nipis. Sehat untuk lelaki kata mereka hha..ha..ha... Kadang teh-lemon, jagung-susu atau susu hangat. Nikmatnya adalah minuman itu hasil kerja tangan mereka sendiri.

***

"Belum afdhal sebagai cah pondok (anak pesantren) kalau belum naik gunung," pernah saya katakan di kelas.

Ternyata mereka serius menyambut tantangan saya. Rencananya adalah liburan setelah Ujian Nasional (UN). Persiapan pun disusun. Setiap pagi mereka olah raga lari keliling kampung. Berbagai informasi tentang gunung pun dikumpulkan. Saya pun memberikan informasi tentang gunung-gunung yang berada di seputar Magelang, seperti : Merbabu, Merapi, Andong dan Sumbing. Sebenarnya saya hanya merekomendasikan Gunung Andong yang cocok untuk pemula. Saran dan tips naik gunung pun saya berikan sesuai pengalaman yang pernah saya dapatkan. Lalu kami mulai sibuk ujian nasional. Rencana naik gunung tidak lagi saya dengar.

***

"Doakan Ustadz, kami jadi naik Sumbing?" ujar Afif.

"Haa? Serius Sumbing?" saya tidak percaya dengan keputusan mereka yang pemula memilih Sumbing untuk pendakian pertama kalinya.

Namun alasannya cukup rasional, lokasinya dekat dengan rumah Ali yang berasal dari Temanggung. Nanti akan didampingi oleh ayah Ali dan saudaranya. Siip.

Afif, orang Minang tidak pulang kampung. Ia meluncur ke rumah Syamil di Surabaya, tempat petualangan dimulai. Lalu bersama Syamil, Afif menuju ke Jogja dengan kereta api, transit di rumah Ahmad. Di Jogja inilah berkumpul dengan Muhadzib dari Bekasi, Faiz dari Jakarta, Izar dari Bogor dan Zaid yang meluncur dari Klaten. Keluarga Ahmad menerima dengan sangat baik, mengajak mereka berkeliling di kota Jogja. Semenjak petualangan itu, Grup WA orang tua mulai ramai dengan foto-foto kondisi mereka.







***

Satu hari menjelang pendakian yang bertepatan dengan wisuda. Padatnya sebagai tim acara wisuda, membuat HP sejak pagi hingga sorea tidak tersentuh. Saat istirahat setelah shalat magrib, baru sempat membuka HP. Ada delapan panggilan tak terjawab, ada tiga pesan SMS dan banyak pesan di WA.
Enam panggilan tak terjawab ternyata dari anak-anak pembuat pesawat kertas. Saat ini mereka tengah dalam perjalanan melakukan pendakian ke Gunung Sumbing. Di usia mereka yang masih sangat belia, apalagi anak-anak kota membuat kabar petualangan ini menjadi heboh.

Setelah shalat isya' saya mencoba telpon. Mereka sedang bersiap-siap. Senang rasanya mendengar keceriaan mereka mengisahkan kehidupan di kampung, pelosok Temanggung. Baru kali ini mendengar suara binatang senja (mungkin semacam angkup), suara jangkerik dan binatang malam lainnya. mendengar lenguhan sapi dan kambing merupakan keasyikan tersendiri. Sumua itu tidak pernah ditemui di Jakarta. Sebentar lagi akan menuju titik awal pendakian di Garung, Wonosobo. Dari Garung, mereka akan menempuh perjalanan siang hari. Ini berdasarkan kesepakatan para orang tua yang mempertimbangkan anak-anak yang baru mau mendaki untuk pertama kali.

Ingin rasanya bersama mereka melakukan pendakian, sayangnya tidak libur. Fii amanillah ...

***

22 Mei 2016. Dari Jakarta saya tetap memantau anak-anak.

Pukul 09.07 anak-anak sudah tidak bisa dikontak lagi.
Biarlah mereka menikmati pendakian.
Yang rame adalah grup WA orang tua, tidak henti-hentinya menanyakan kabar dan berbagi informasi. Mereka cukup khawatir.
Doa pun mulai banyak digemakan. Di antara orang tua saling menguatkan.




16.00 belum ada kabar, tidak bisa kontak
Orang tua mulai panik, grup WA mulai ramai lagi. Namanya juga orang tua, sudah membahas berbagai kemungkinan dan langkah yang perlu diambil.

Sampai mulai bisa menjalin kontak pukul 19.03,
meskipun akhirnya putus

SMS yang dikirim sebelum maghrib.
ter-'delivered' pukul 19.09

Ping WA, dua checklist hitam 19.20
dan checklist biru 19.40

Panggilan masuk, mulai 20.05
meskipun tidak ada suara, putus.

20.24 panggilan pertama berhasil,
"Kami baru sampai di pos 1."

Sayangnya, putus lagi komunikasi.

20.39 panggilan masuk,
"Alhamdulillah, kami dah turun di base camp. Yang lain masih di belakang"

***








Saya telpon balik. Senang rasanya dengar suara mereka. Ceritanya belepotan, mau berkisah yang mana dulu.

Alhamdulillah, petualangan anak-anak pembuatan pesawat kertas sukses mengukir sejarah baru.
Rasanya terbang ke lorong waktu, mengenang jaman SMP-SMA dulu ...
Kalau kakai pegel, bengkak, mual-mual ,,, itu mah wajar. Tinggal pijit-pijitan ...
"Kapok nggak?"
"Nggak, tahun depan lagi."

Hha..ha.. kalian yang ber petualang, orang tua yang deg-degan.

Tahu nggak, Ibu kalian mulai ashar hingga habis isya' mantengin WA terus ...

***

Ucapan Selamat Wisuda untuk Kakak Kelas 6 (XII MA)
-o0o-

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar