Tweet : SISI LAIN MENJAMURNYA SEKOLAH BERASRAMA/PESANTREN


** Catatan ini merupakan kumpulan tweet dengan judul di atas di akun twitter @ad_zadani. Telah dilakukan penyesuaian redaksi tweet seperlunya


Menggembirakan, namun ada yang perlu menjadi perhatian

1. Akhir-akhir ini mudah sekali mencari sekolah berasrama atau pesantren, dengan berbagai ragam pendidikannya. Tentu ini merupakan respon dari kebutuhan 'pasar' dalam hal ini keluarga.
2. Mengapa banyak orang tua kini menyadari perlu untuk memasukkan anaknya ke pesantren? Bahkan ada yang sejak kelas 1 SD.
3. Senang sekali jika memang sejak awal orang tua telah memprogramkan sang anak untuk masuk pesantren. Artinya menyekolahkan di pesantren adalah By Design. Orang tua telah memahami arah pendidikan.
4. Namun ada rasa sedih ketika orang tua yang saya temui mengemukakan alasannya : Lingkungan pergaulan rumah yang tidak bagus atau memperbaiki perilaku anak, demikian yang sering saya dengar.
5. Bahkan ada yang beralasan kedua orang tua bekerja sehingga khawatir terhadap pemantauan pergaulan anak di rumah.
6. Satu alasan saja yang akan saya bahas. "Lingkungan pergaulan rumah yang tidak bagus". Dengan alasan tersebut artinya banyak orang tua memilih pesantren sebagai 'pelarian' buat sang anak.
7. Jika banyak orang tua memilih alasan tersebut, berarti ada hal yang harus dicek kembali. Anak 'diasingkan' ke tempat yang 'aman' kemudian kelak jika liburan atau selesai masa studinya, ia akan kembali ke lingkungan aslinya 'yang tidak aman'.
8. Bermunculnya fullday school, sekolah berasrama atau pesantren justru menjadi indikator bahwa nilai-nilai kebaikan itu justru berada di tempat yang asing, tidak lagi berada di tengah-tengah masyarakat. Yang ada di lingkungan masyarakat justru nilai keburukan.
9. Akibatnya adalah pendidikan nilai-nilai kebaikan terbatasi areanya yaitu di pesantren. Sehingga anak-anak ketika kembali membawa nilai-nilai tersebut justru akan merasa 'terasing' dengan apa yang ia miliki.
10. Memang, hal ini sudah menjadi keniscayaan. Kebaikan sudah terasing. Ia pun telah dibatasi. Sementara nilai keburukan, meskipun menakutkan banyak orang tua, ia sudah memasyarakat.
11. Maka, sekedar memasukkan sang anak ke pesantren bukanlah solusi mengatasi lingkungan yang buruk. Karena kelak anak akan kembali ke lingkungan aslinya dengan dua pilihan : terasing atau terkontaminasi nilai-nilai keburukan.
12. Selanjutnya apa yang harus dilakukan orang tua? Menyiapkan tempat dalam hal ini adalah masyarakat, kelak ketika sang anak berlibur atau selesai belajar di pesantren tetap memegang teguh nilai-nilai kebaikan.
13. Jelas, tugas ini tidaklah mudah. Jauh lebih sulit daripada membiayai anak di pesantren. Terlebih ada perasaan dalam diri orang tua : Saya kan bukan ustadz, saya ilmu agamanya sedikit atau saya juga masih banyak khilaf.
14. Tugas dakwah bukanlah tugas kyai, ustadz atau habib. Dakwah adalah tugas setiap muslim.
15. Dakwah bukan pula sekedar tausiyah. Dakwah adalah mengajak kebaikan pada masyarakat dengan berbagai cara yang ia sanggupi. Tak harus mengeluarkan banyak dalil.
16. Dengan demikian, ada pembagian tugas : Pesantren mendidik sang anak dengan keilmuan dan orang tua berdakwah di lingkungan sekitar dalam rangka menyiapkan tempat yang kondusif bagi anak.
17. Ada berapa ribu santri di Indonesia? Ada berapa ribu orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren? Jika tugas tersebut dilaksanakan, maka nilai-nilai kebaikan pun bisa dinikmati oleh masyarakat. Ia tidak akan lagi terasing.
18. Ia ada di rumah kita, ada pula di tetangga bahkan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Orang tua pun merasa aman menempatkan anak-anaknya untuk belajar.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar