KENANGAN DENGAN UMMI IJAH, WANITA PEJUANG YANG KINI TELAH BERPULANG

Kemarin setelah saya shalat Shubuh, handphone berdering. Terpampang nama salah satu santri saya yang kini sudah kuliah semester awal. Saya angkat panggilan tersebut dan mengucap salam.

"Ummi saya meninggal," kata santri tersebut pendek. Saya pun berusaha untuk menenangkan hatinya.

Seminggu yang lalu, dia mengabari bahwa sang Ibu terkena musibah, tabrak lari.

Saya dan beberapa guru beserta perwakilan santri bertakziyah ke Ummi Ijah (demikian panggilan akrab beliau). Masyaallah, ribuan pelayat ikut mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan.
Ummi Ijah adalah salah satu orang tua yang akrab dengan saya. Masih terngiang saat-saat berbincang dengan beliau ketika menjenguk putranya di pesantren. Sebagai orang tua tunggal (suami telah meninggal 10 tahun yang lalu), beliau selalu semangat dan energik merawat 7 putra-putrinya dan beberapa anak asuh.
"Terima kasih Ustadz, sudah jauh-jauh dari Jakarta datang ke Serang," demikian ungkap murid saya ketika kami tiba di rumahnya.

Bayangan saya pun kembali ke beberapa waktu lalu ...
Ini belum sebanding dengan yang telah dicontohkan oleh Ummi. Perjalanan saya saat ini masih cukup mudah : saya laki-laki muda, waktu juga luang, kendaraan sendiri dan perjalanan siang hari. Sementara Ummi kalau menjenguk ke pesantren biasanya malam hari, benar-benar meluangkan waktu di antara kesibukan beliau mengisi kajian ataupun kuliah, beliau juga harus membagi waktu dengan anak-anak yang lain dan perjalanan Serang-Jakarta ditempuh dengan kendaraan umum yang memakan waktu 3 - 4 jam. Sehingga berbincang dengan Ummi tak bisa berlama-lama, namun sangat bermakna dan saya banyak belajar.


Ketangguhan Ummi tampak menurun kepada anak-anaknya. Santri saya
tersebut sangat dikenal sebagai santri yang paling keras usahanya, nurut dengan Ummi dan supel-santun dalam bergaul. Sementara kemarin, saya juga melihat putra-putra beliau tampak tegar meskipun kehilangan.
Perbincangan terakhir saya dengan Ummi adalah saat kelulusan putranya, beliau menawarkan, "Ustadz kapan nikah? Saya memiliki banyak akhwat binaan. Orangnya baik dan berasal dari keluarga yang baik pula. Barangkali Ustadz cocok, gimana?" Saat itu, untuk sementara tawaran tersebut tidak saya ambil.
"Karena putra saya sudah lulus, mungkin saya jarang ke Kafila. Tapi undangan dari tetap Ustadz saya tunggu. Insyaallah kalau masih di sekitar Jakarta atau Jawa Barat saya usahakan hadir," lanjutnya.
Beliau mengingatkan sosok Ibu saya ...
Selamat jalan Ummi, karya-karya besarmu menjadi cambuk bagi kami yang lebih muda agar tetap ikhlas dan istiqamah dalam perjuangan.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar