Model Sekolah-Kursus : Sekolah yang Mendidik

Sekolah saya memiliki program belajar bahasa Inggris di Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tempat kami belajar berlokasi di daerah yang bernama Desa Tulungrejo dan Desa Pelem, namun lebih dikenal sebagai “Kampung Inggris”. Dinamakan sebagai kampung Inggris karena di desa tersebut kita akan mudah menemukan berbagai pilihan tempat kursus bahasa Inggris. Kampung Inggris pada mulanya dirintis oleh Mr Kalend Osen dengan mendirikan lembaga kursus “Basic English Course” (BEC) pada tahun 1977 yang masih eksis hingga kini. Kampung ini banyak didatangi oleh siswa dari berbagai daerah dengan beragam usia, mulai SD hingga karyawan yang ingin belajar bahasa Inggris. Pilihan waktunya pun beragam; 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun.




Ini adalah tahun ke-3 saya mengantar para siswa untuk belajar bahasa Inggris. Lembaga yang dipilih pun beragam. Untuk angkatan pertama di tahun 2012, kami belajar di Happy English Course (HEC), “anak kandung” dari BEC dan ELFAST yang dikenal sebagai lembaga terbesar setelah BEC. Periode kedua dan ketiga adalah di EnglishOne. Tidak hanya siswa, guru pun kami berikan kesempatan untuk kursus bahasa Inggris.

Bagi saya, Kampung Inggris bukan hanya tempat belajar Bahasa Inggris. Waktu yang diberikan justru saya gunakan untuk menjelajah kampung Inggris, mempelajari sistem belajar Bahasa Inggris pada beberapa lembaga kursus dari 150-an lembaga yang ada. Jika saya tertarik untuk untuk mendalami sistem yang diterapkan pada sebuah lembaga, saya akan ikut kursus di dalamnya. Namun jika saya merasa cukup observasi saja karena misalnya sudah ada siswa atau teman guru yang belajar di lembaga tersebut maka saya hanya melihat-lihat aktivitasnya. Hal yang menarik selain dari proses belajar adalah simbiosis mutualisme yang terjadi antara siswa, lembaga kursus dan masyarakat. Ketiganya saling membutuhkan dan memberikan manfaat.

Apa yang menarik dalam sistem belajar ala kursus?

Mirip dengan kursus Bahasa Inggris pada umumnya, kita bisa memilih ‘program studi’ yang akan kita ambil. Secara garis besar, saya menyimpulkan ada tiga program studi : Grammar, Speaking, International Test. Setiap program studi, terbagi dalam empat level : basic (pemula), intermediet (menengah), advance (lanjut) dan professional. Dalam setiap level juga masih dibagi kelas. Untuk kelas, siswa harus diuji dahulu kemampuannya, yang dikenal dengan placement test (tes penempatan). Hasil tes inilah yang akan menentukan kelas mana yang paling tepat untuk kita.

Di EL-FAST, saya memilih dua program studi : speaking dan grammar. Untuk program studi speaking saya bisa masuk kelas intermediet dengan sub-kelas “Confidence” di mana siswa akan dilatih untuk mengembangkan kemampuan berbicara di depan publik, bermain peran serta berdebat. Selain sub-kelas “Confidence”, saya juga mengambil sub-kelas “Pronounciation Level 4”. Sedangkan untuk program studi Grammar saya masuk dalam kelas intermediete pula, dengan sub-kelas “Grammar for Speaking”. Jumlah siswa se-kelas juga tidak terlalu banyak, sekitar 15-25 orang dengan berbagai rentang usia dan jenis pekerjaannya.

Dengan model seperti di atas, kita akan lebih menikmati proses belajar karena tidak mengulang pelajaran dari awal. Terlebih lagi didukung oleh metode pengajaran yang menarik, tutor yang ‘heboh’ serta lingkungan kampung yang asri. Namun yang paling berpengaruh dalam kenyamanan belajar adalah materi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, saya tidak perlu belajar tes international seperti : TOEFL, TOEIC, IELTS, dan sebagainya atau belajar tata bahasa yang begitu rumit.

Pertanyaannya : dapatkah sistem pendidikan ala kursus diterapkan di sekolah?

Sementara ini pembelajaran di sekolah sudah cukup menyenangkan dengan guru yang berkualitas pula. Namun tentunya tidak ‘bebas’ sebagaimana pada lembaga kursus karena sekolah diberikan rambu-rambu yang harus dipenuhi dalam bentuk kurikulum. Pemerintah telah menetapkan target-target secara nasional. Maka eksplorasi guru akan terbatasi oleh materi yang harus sudah selesai disampaikan kepada siswa dalam kurun waktu tertentu. Di samping itu, guru juga memiliki tugas tugas administrasi yang tidak ringan. Sementara itu kurikulum dalam sebuah lembaga kursus sungguh simpel : sesuai kebutuhan, baik materi maupun waktu. Dengan demikian tutor pun lebih dapat mengembangkan kemampuan mengajar daripada sibuk mengurus administrasi pembelajaran.

Jika saja sekolah memiliki keberanian sedikit saja untuk ‘tidak nurut’ dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka akan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup ideal. Sebagai sebuah lembaga pendidikan formal, sekolah tentu memiliki kelebihan-kelebihan dengan nilai plus berupa layanan belajar yang disesuaikan dengan level atau kemampuan siswa, kemudian kelas-kelas yang ada juga disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Sekolah tentunya memiliki guru-guru yang telah terlatih dalam berbagai program peningkatan kualitas guru yang sering dilaksanakan oleh pemerintah. Inilah sekolah yang mendidik. Syaratnya satu : berani.


Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar