Ketika Harus Mengatakan "Jangan" pada Anak

Kata “tidak” atau “jangan” dalam dunia parenting/pengasuhan ternyata masih menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan, setidaknya di lingkungan kerja saya. Tema yang tidak akan usang terlebih ketika harus membawa benturan-benturan peradaban antara timur dan barat. Bahkan saking panasnya, di jejaring sosial orang dengan mudah langsung menuduh profesi yang ber
kaitan dengan parenting seperti konselor, psikolog atau praktisi sebagai bagian dari konspirasi. Menjadikan bias pembahasan kata “Jangan” atau “Tidak” itu sendiri. Untuk itu saya tulis ulang postingan dahulu dengan sedikit perubahan.

Anjuran tidak banyak menggunakan kata “jangan” sebenarnya digunakan ketika berinteraksi dengan anak-anak di mana perkembangan kognitif mereka masih terbatas. Misalnya, ketika disampaikan “Jangan kejar-kejaran di jalan!” maka anak-anak akan berpikir maksudnya apa? Berarti kejar-kejaran di rumah boleh? Di jalan boleh bermain selain kejar-kejaran. Hal ini karena anak belum paham lawan kata dari yang orang tua sampaikan. Alangkah baiknya kalau orang tua langsung menyampaikan apa yang harus mereka kerjakan. Selain itu, alasan lain adalah khawatirnya semangat eksplorasi akan surut khususnya ketika beinteraksi dengan anak usia dini.

“Tidak boleh buang sampah sembarangan”, kalimat ini bisa diganti dengan “buanglah sampah pada tempatnya”. Kalimat kedua lebih jelas maksudnya, positif dan mudah dimengerti. Tetapi ada kalimat lain yang mungkin tidak pas ketika diganti.  “Dilarang merokok”, berarti penolakan penuh terhadap rokok, jika diganti “matikan rokok Anda” atau “harap merokok pada tempatnya” berarti justru menunjukkan adanya toleransi dan ‘penghormatan’ kepada perokok dengan menyediakan tempat khusus. Di Singapura larangan merokok menggunakan kalimat larangan yang sederhana. “No smoking!” Dilarang merokok. Ringkas, tajam, dan jelas melarang. Hasilnya? Anda sulit menemukan orang yang merokok.

Lalu apa yang perlu orang tua perhatikan dalam menyampaikan larangan?

Ikuti dengan Penjelasan

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh penampilan orang-orang kafir di berbagai negeri. Itu hanyalah kesenangan sejenak, kemudian tempat kembali mereka adalah (neraka) Jahannam, dan itulah tempat yang paling buruk. Namun bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, sebagai tempat tinggal di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran [3]: 196-198).

Ada penjelasan yang menyertai sebuah larangan sehingga menguatkan larangan tersebut. Penjelasan ini berisi tentang resiko-resiko bagi yang melanggar larangan. Kemudian penjelasan tersebut dikuatkan lagi dengan pemaparan tentang kondisi yang sebaliknya, yaitu akibat-akibat baik yang akan diperoleh bagi yang tidak melanggar larangan.

Beritahukan Cara yang Benar

“Apabila kamu hendak melakukan shalat, janganlah berjalan dengan tergesa-gesa, namun datangilah dengan tenang dan kesabaran terhormat.” (HR Bukhari).

Anak melakukan suatu kesalahan mungkin karena ia tidak tahu cara yang benar. Dengan demikian, berilah pemahaman tentang cara atau perilaku yang benar ketika orang tua memberikan suatu larangan.

Berikan Alternatif.

“Janganlah sekali-kali kamu menyepelekan kebaikan apa pun. Dan jika kamu tidak punya, temuilah saudaramu itu dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim).

Tidak cukup orang tua hanya memberikan batasan terhadap suatu hal sebagai sebuah larangan tanpa memberikan alternatif. Sehingga anak belajar menentukan pilihan apakah akan mengambil perbuatan yang dilarang atau yang dianjurkan dengan tujuan yang sama.

“Jangan” bukan sebagai Reaksi

Cara menyampaikan larangan hendaknya dilakukan sebagai langkah preventif/pencegahan. Artinya orang tua memberikan batasan dengan kata “jangan” adalah dalam kondisi tenang dan bukan dengan teriakan sebagai reaksi mendesak begitu melihat anak melakukan suatu hal.

Jika dalam kondisi mendesak/darutat orang tua ingin sang anak menghentikan suatu perbuatan maka sebaiknya langsung saja katakan perintahnya, “Berhentilah ...”, “Ayo masuk ...”, “Lari ...”, dan sebagainya karena kata “jangan” memiliki respon yang kurang cepat sebagai sebuah perintah.

Catatan : Hati-hati dalam Memberi Batasan

Seorang anak kelas 5 SD berbicara tentang pacaran, orangtua menukas dengan kalimat, “Tidak boleh bicara pacaran. Kamu masih kecil.” Kalimat yang menyertai larangan seperti memperkuat larangan, tetapi sebenarnya memberi batas waktu, yakni larangan itu hilang jika mereka sudah besar. Masalahnya, tanpa penjelasan yang cukup, anak memahaminya kebolehan pacaran jika waktunya telah tiba.

Posisikan Kalimat Positif dan Kalimat Negatif dengan tepat

Kata “jangan” atau “tidak” memiliki arti bahwa kita berfokus pada melarang anak. Jika anak tidak mengikutinya, maka sebagai konsekuensi adalah berupa hukuman.

Sementara jika orang tua menggunakan kalimat positif, fokusnya adalah meminta anak untuk melakukan sesuatu. Jika anak melakukan perintah tersebut, maka konsekuensinya adalah mendapat apresiasi.

Dalam jangka panjang, akan terlihat perbedaannya. Penelitian-penelitian psikologi sudah membuktikan reinforcement positif lebih efektif daripada punishment untuk mengubah dan mempertahankan perilaku.

Tidak Perlu Berdebat, Semuanya Hanya tentang Waktu dan Cara

Sebagai orangtua ada yang perlu diperbaiki pada cara melarangnya. Yang paling mudah adalah melarang dengan teriakan keras serta tidak memberi alasan, penjelasan, contoh yang benar atau alternatifnya. 

“Jangan mainan api” dan selesai. Tetapi hal ini tidak membuat anak mengerti alasannya, sehingga ketika menjumpai hal-hal yang serupa, ia tidak bisa menerapkan prinsip yang sama. Selanjutnta pasti orang tua perlu melarang lagi, dan melarang lagi. Kenapa? Karena ia menjauhi larangan tanpa mengerti sebabnya. Atau ia menjauhi larangan semata karena takut kepada orang tua.

***

Berawal dari kata “tidak”, perubahan besar pun terjadi, dari orang yang ingkar menjadi seorang Muslim. Diawali dari kata “tidak”, sebuah risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad  telah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi kekuatan yang disegani dan mencerahkan. Budak ataupun masyarakat dari kasta rendah yang dihinakan oleh manusia, memiliki keseteraan di depan para raja dan kaisar tanpa gemetar sedikit pun kakinya. Bermula dari kata “tidak” pula, rasa rendah diri telah berubah menjadi percaya diri ketika berhadapan dengan para pembesar. Tidak minder, tidak pula sombong. Kata “tidak” yang tak berhenti pada sebatas “tidak”.

***


Bagikan artikel melalui :

,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar