Bukan Kelas Kuburan


Hari ini adalah tatap muka terakhir bagiku untuk mengajar pelajaran sains di kelas dua dan satu, karena pekan depan sudah memasuki ujian kenaikan kelas. Aku tahu, ada kendala hubungan interpersonal di antara beberapa siswa meski mereka tinggal di asrama.  Biasa ... namanya juga anak-anak SMP, dalam pergaulan kadang-kadang ada yang membuat mereka berantem, namun biasanya ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk belajar mengelola kemampuan interpersonal. Namun bagi mereka yang memiliki perasaan sensitif, bukan perkara yang mudah untuk bisa berkomunikasi dengan teman yang pernah menyakitinya. Termasuk dua orang muridku di kelas dua sebut saja Y dan M.

Sudah beberapa hari lalu ada masalah di antara mereka sehingga tidak mau saling bertegur sapa. Masalahnya sih sebetulnya ‘hanya’ kesalahpahaman, namun bagi mereka yang sedang tumbuh remaja menjadi sangat penting. Sehingga misi di tatap muka terakhir ini adalah membangun kekompakan siswa kelas dua, terlebih mereka akan naik kelas 3 di mana pada saat kelas 3 nanti, ada tugas berat bagi mereka yaitu ujian nasional. Keberhasilan kakak kelas mereka yang selalu meraih prestasi menjadi motivasi bagi siswa kelas dua ini untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi sekolah. Namun kekompakan adalah salah satu pilar untuk meraih prestasi itu, demikian aku sering ingatkan pada mereka. Tanpa kekompakan tim, semua akan berjalan sendiri-sendiri dan tentunya tidak bisa meraih tujuan bersama.

Tiga lembar kertas hvs dan tiga buah pulpen aku persiapkan untuk menutup kegiatan pembelajaran sains. Kemudian aku bagi anggota kelas 2 yang berjumlah 17 dalam dua kelompok. Satu kelompok beranggotakan 3 anak sementara kelompok lain masing-masing beranggotakan 7 anak. Masing-masing kelompok adalah developer rumah yang memiliki tugas untuk membuat denah sebuah rumah dan memasarkan rumah tersebut. Untuk dua kelompok yang memiliki anggota tujuh anak, masing-masing berbaris memanjang ke belakang dan satu per satu siswa menuju kertas hvs untuk ‘menyumbangkan’ tiga garis lurus saja. Sementara itu satu kelompok yang terdiri dari 3 siswa berdiskusi untuk membuat denah rumah dan denah tersebut dibuat dari garis lurus saja,tidak boleh garis lengkung. Dan dalam hitungan ketiga, pembuatan desain denah rumah pun dimulai ...

Tampak para siswa berpikir keras ketika mendapat giliran untuk menggambarkan garis, sepertinya tidak mudah untuk membuat denah rumah. Namun diskusi yang cukup ramai terlihat pada kelompok yang hanya terdiri dari tiga siswa. Dan akhirnya waktu untuk membuat desain denah rumah selesai, waktunya mereka untuk beraksi sebagai marketter ...
Seorang marketter dari kelompok 1 membawa denah rumah untuk dipresentasikan dihadapan siswa lain. Namun sebelum presentasi denah rumah, justru terdengar tawa riuh siswa saat melihat denah rumah. Presentasi denah rumah dimulai ...
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.. Bapak-bapak sekalian, saya ingin menawarkan sebuah rumah yang denahnya seperti pada gambar ini ... ,” Abdurrahim yang berperan menjadi marketter memulai presentasi denah rumahnya, “...tapi saya sendiri bingung dengan gambar rumah ini ...” tawa anak-anak pun meledak mendengarnya. Tampak di kertas sebuah gambar seperti  ini :
Komentar miring dari ‘calon pembeli’ pun bermunculan yang membuat kelompok 1 harus menjawab dengan cerdas juga. Namun tak urung, rumah tanpa pintu itu kurang laku, soalnya antara kamar mandi, tempat tidur dan ruang makan tidak ada pintunya.

Kini giliran Ulul menjadi marketter untuk desain rumah yang dibuat oleh kelompok 2. Tak kalah heboh dari desain denah rumah kelompok pertama. Rumah yang hanya berbentuk kotak ini langsung ditanggapi dengan celotehan beraneka ragam, sampai ada yang mengatakan, “Si Ulul jualan kuburan ... .”

Dan terakhir adalah giliran kelompok ke-3 yang diwakili oleh Tezar sebagai marketter-nya. Desain rumah yang dikerjakan oleh tiga siswa ini adalah yang paling lengkap dan rapi. Sampai-sampai ada kolam renang, garasi dan kebun di halaman belakang.

Mendekati waktu pelajaran habis, kami bersama membuat sebuah kesimpulan. Setiap anggota keluarga pasti memiliki keinginan masing-masing yang kadang-kadang berbeda atau bahkan bertentangan dengan anggota keluarga yang lainnya. Di kamar asrama misalnya ada yang ingin kipasnya nyala, sementara yang lainnya ingin kipasnya dimatikan. Atau menjelang tidur, seorang siswa ingin lampunya dimatikan dan ada siswa lain yang ingin dinyalakan karena takut. Nahh ... kuncinya adalah pada komunikasi. Jika siswa mau berbicara dan tidak memendam dalam hati, maka InsyaAllah permasalahan dapat diselesaikan. Akibat siswa saling mendiamkan adalah menjadikan kelasnya sebagai kuburan: sepi, jelek dan menakutkan.

“Kelas kami bukan kelas kuburan!” demikian ikrar siswa yang dilanjutkan dengan saling berpelukan satu sama lain. 

Bagikan artikel melalui :

, ,

KOMENTAR

0 comments:

Posting Komentar