Bersarung Tak Bercelana, Sebuah Ide dari Muridku

Tiga kali ujian Al Qur’an (tepatnya sejak awal kelas 2) seorang muridku yang hebat mengalami sedikit kesulitan dalam memotivasi diri agar dapat menyelesaikan ujiannya tepat waktu. Sudah dua kali ia menangis di depanku, minta bantuan agar saya membujuk Kepala Bagian Al Qur’an memberikan keringanan : menunda waktu atau memotong-motong halaman dalam menyetorkan ujian, meski saat itu saya hanya sebagai gurunya, bukan wali kelas ataupun musyrif(pengasuh)nya.

Namun justru saat ujian semester pertama ketika saya sebagai wali kelasnya tahun ini, ia tidak merengek-rengek lagi. Mungkin ia tahu, saya tak akan membantu untuk membujuk Kepala Bagian Al Qur’an, ia sudah lebih dewasa, pikirku. Namun berdasarkan laporan bulanan pengasuh Al Qur’annya, ia kadang mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Sehingga mau tidak mau aku pun ada sedikit rasa khawatir, jangan-jangan ia putus asa, sehingga berfikir “yang penting ujian”.

Sampai suatu hari, aku sedang ngobrol dengannya dan aku menepuk pantatnya. Saat itu aku kaget, aku rasa ia memakai sarung tapi tidak memakai celana rangkap, hanya sarung dan celana dalam. Sampai suatu saat yang tepat, aku menanyakannya, “Fulan nggak pakai celana rangkap?” Sambil tersipu ia pun mengakuinya, sudah dua hari ia mengenakan sarung tanpa celana rangkap, kecuali ketika sekolah (karena kalau sekolah harus pakai celana panjang seragam). Ia menceritakan, itulah caranya agar ia dapat menyelesaikan ujian Al Qur’an tepat waktu. Melihat saya belum mengerti maksudnya, ia pun menjelaskan, ia sadar ketika memakai sarung tanpa celana rangkap, akan banyak orang yang mengomentarinya, namun justru dari sinilah ia memiliki cara untuk memotivasi dirinya agar dirinya menyelesaikan ujian dengan segera. Ia memang mendapatkan komentar dari teman-temannya dan ia pun risih melihat tatapan teman-temannya. Hasilnya? Ia sukses menyelesaikan ujian Al Qur’an tepat waktunya dengan hasil yang memuaskan, tanpa menangis tanpa merengek. Dan ia pun kembali mengenakan celananya.

Meski beberapa waktu kemudian ada seorang guru yang menganggapnya ia “ada masalah”, namun bagi saya ia anak yang cerdas untuk menemukan cara yang efektif bagi dirinya sendiri. Dan karena itu saya pun hanya memberikan masukan agar menggunakan cara lain, sehingga tidak ada teman ataupun guru yang salah dalam memahaminya.

Tahukah anda seperti apa anaknya?

Hasil tes kepribadian D-I-S-C, ia tipe “I” mendominasinya, sementara dari tes M-B-T-I, ia bertipe ENTP. Ia juga memiliki sifat melankolis, sehingga mudah sekali untuk menangis jika hatinya ‘disentuh’. Dari grafologi (tulisan tangan), memang ia sedikit terkonsentrasi pada loop bawah. Komplit sudah ia sebagai seniman.



Ia memang memiliki jiwa seni yang tinggi, imajinasinya dalam menggambar, menulis cerita ataupun membuat parody sungguh liar untuk ukuran se-usianya. Dan salah satu motivasi ‘aneh’ ini pun ternyata memberikan kunci tentangnya. Ya! ‘Anak seni’ memang kadang bertingkah ‘aneh’ bagi orang lain, dan sebagai gurunya, saya pun kadang-kadang harus ikut-ikutan ‘aneh’ dalam membuat beberapa kesepakatan dengannya. Aku hanya tidak ingin ada judul “Matinya seorang Seniman di Sekolahku”.

Bagikan artikel melalui :

KOMENTAR

1 comments:

  1. Betul, jangan sampai bakat anak justru mati di sekolah karena sekolah mencampakkan begitu saja.

    BalasHapus